Rabu, 13 Oktober 2010

Muhammadiyah dan Persis, Syarikat Islam dan Jong Islamieten Bond. NU. Masyumi

Oleh : Achmad Rosyidi

I. PENDAHULUAN

Organisasi Masyarakat (ormas) adalah salah satu kumpulan yang didirikan oleh sekelompok masyarakat tertentu yang dipimpin oleh seorang tokoh karismatik, mereka berperan sebagai pioner pembagunan masyarakat tersebut.

Indonesia adalah bangsa yang pluralis baik agama, suku dan budaya, sehingga ormas tumbuh dan berkembang berbagai corak dan bentuk sesuai dengan keadaan stuasi dan kondisinya. Di makalah ini akan dibahas enam ormas yang menurut penulis, sangat berpengaruh dalam membangun bangsa ini baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan, yaitu Muhammadiyah, Persis, SI (Syarikat Islam), Jong Islamiten Bond, NU dan Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia).

Ormas-ormas tersebut adakalanya concern terhadap sosial keagamaan seperti Muhammadiyah dan Persis seperti pendidikan dan kesehatan walaupun di dalamnya terkadang terlibat politik tapi tidak praktis, ada yang tarik ulur antara politik praktis dan sosial keagamaan seperti NU yang sampai akhirnya fokus terhadap sosial keagamaan yang di kenal dengan istilah khittah pada tahun 1984 yang dipelopori oleh dua tokoh, KH. Ahmad Shidiq dan KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur), dan ada ormas hanya concern terhadap politik seperti Syarikat islam, Jong Islamiten dan Masyumi.

Ormas Islam jika ditinjau dari sejarah pra kemerdekaan Indonesia, mereka sangat berjasa untuk kemerdekaan Negeri ini sampai sekarang mereka tetap eksis dalam pembangunan bangsa ini seperti kedua Ormas besar ini, Muhammadiyah dan NU. Patut kiranya kita mempelajari sejarahnya, agar kita bisa mengambil ibrah dari perjuangan mereka yang pantang mundur demi masa depan Negeri ini lebih baik .

Penulis yakin isi makalah yang singkat ini tidak bisa menelaskan secara detail, karena tema yang di bahas sangat banyak dan luas. Mungkin makalah ini hanya sebagai stimulus atau informasi dasar sejarah tema di atas.

II. PEMBAHASAN

A. Muhammadiyah

1. Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah

Muhammadiyah adalah salah satu organisasi terbesar ke-2 di Indonesia setelah NU (Nahdlatul Ulama), Muhammadiyah lahir pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H (bertepatan dengan 18 November 1912 M). Muhammadiyah diresmikan menjadi organisasi persyarikatan dan berkedudukan di Jogjakarta, dipimpin langsung oleh KH. A. Dahlan sendiri sebagai ketuanya. Jadi organisasi yang didirikanya merupakan penyempurnaan dari pelaksanaan gerakan yang dilakukan sebelumnya.[1]

Sebelum membahas lebih jauh latar belakang organisiasi ini, penulis akan mengulas terlebih dahulu biografi singkat pendirinya, yakni KH. A. Dahlan. Beliau adalah sebagai tokoh pendiri dan figur utama organisasi ini. KH. A. Dahlan adalah anak dari Kiai Haji Abu Bakar bin Kiai Sulaiman seorang khatib di Masjid Agung Jogjakarta. Ahmad Dahlan lahir pada tahun 1868. Semasa kecilnya, Ahmad Dahlan bernama Muhammad Darwis. Pada masa kecilnya, beliau sudah mengenal pemikiran Jamaluddin al-Afgani dan Muhammad Abduh melalui majalah al-Urwah al-Wusqa. Beliau pernah tinggal di Mekah selama dua tahun, sehingga akrab dengan gagasan modernisasi Islam.[2]

Setelah mengenal tokoh utama dan figur organisasi ini secara singkat, penulis akan menjelaskan faktor pendorong berdirinya Muhammadiyah, faktor-faktor tersebut ada dua, yakni faktor subyektif dan faktor obyektif.

a) Faktor Subyektif

Bersifat subyektif, ialah pelakunya sendiri, dan ini merupakan faktor sentral. Lahirnya muhammadiyah tidak dapat dipisahkan dengan KH. A. Dahlan, tokoh kontroversial pada zamannya. Jadi esensi yang mendorong kelahiran Muhammadiyah adalah faham dan keyakinan agama beliau yang dilengkapi dengan penghayatan dan pengalaman agamanya. Inilah yang membentuk KH. A. Dahlan sebagai subyek yang mendirikan amal jariyah Muhammadiyah.

b) Faktor Obyektif

Faktor Obyektif yang dimaksud ialah keadaan dan kenyataan yang berkembang saat itu. Hal ini hanya merupakan pendorong lebih lanjut dari permulaan yang telah ditetapkan hendak dilakukan subyek. Faktor obyektif tersebut oleh Kyai Dahlan dibagi menjadi dua, yaitu yang inten umat Islam sendiri dan ekstern yaitu masyarakat luar Islam. Yang dimaksud dengan faktor obyek intern umat Islam ialah kenyataan bahwa ajaran agama Islam yang maksuk ke Indonesia ternyata sebagai akibat perkembangan agama Islam pada umumnya sudah tidak murni lagi. Sedangkan faktor obyek ekstrn adalah, pertama Pemerintahan penjajah Belanda. Kedua, antek-antek Pemerintah Belanda yang terdiri angkatan muda yang sudah mendapat pendidikan dari Barat. Ketiga, yang paling penting, ialah dari gerakan Nasrani itu sendiri.[3]

2. Gerakan dan Paham Muhammadiyah

Apabila ditinjau dari gerakan Muhammadiyah, maka kita akan ingat dengan dengan istilah Islam kota dan Islam pedesaan, dengan kata lain Islam pembaharuan yang diwakili oleh organisasi ini, sedangkan Islam tradisional yang diwakili oleh Nahdlatul Ulama. Padahal penulis sendiri tidak setuju dengan dikotomi antara kedua ormas ini, kalau dilihat era 80-an sampai sekarang. Kembali pada gerakan Muhammadiyah, Organisasi ini ketika lahir memilih pola gerakan pejuangannya sebagai sosial keagamaan bukan sebagai sosial politik. Sebagai konsekuensinya, Muhammadiyah menitik beratkan pada tiga aspek utama. Pertama, Pemurnian ajaran Islam melalui gerakan tajdid, kedua, pengembangan pendidikan Umat Islam dan yang ketiga, bidang amal usaha sosial masyarakat.[4]

3. Peran Serta Muhammadiyah dalam Membangun NKRI

Muhammadiyah sebagai mana kita ketahui, tidak sedikit organisasi ini dalam membangun bangsa ini, mulai dari masalah keagamaan, sosial dan Pendidikan. Satu contoh dalam dunia pendidikan, Muhammadiyah melakukan terobosan baru dalam yang berani dengan mengambil dan mengadopsi sistem pendidikan modern Barat (Belanda), walaupun inti dan substansi pendidikannya tetap berdasarkan Islam. Sisem administrasi, seperti tata persuratan, yang kita pakai sekarang ini adalah juga diambil alih oleh sistem administrasi Belanda yang telah kita adaptasikan dengan kondisi kita.[5]Padahal pada saat itu mayoritas umat Islam di Indonesia seperti kaum Nahdhiyin masih melarang sistem pendidikan penjajah (Belanda).

B. Persis

1. Latar Belakang Berdirinya Persis

Organisasi modernis muslim selain dari pada Muhammadiyah ialah Persatuan Islam disingkat Persis, lahir di kota Priangan Bandung pada 12 September 1923 tepatnya di daerah Gang Belakang Pakgade. Selanjutnya apabila kita telusuri dari kelahirannya organisasi ini, maka ada beberapa hal yang mendorong lahirnya gerakan ini: diskusi dan perdebatan dalam hal dan perdebatan dalam masalah keagamaan yang dibahas banyak kalangan di kota-kota Minangkabau, Surabaya, dan Batavia (sekarang Jakarta), dua tokoh sentral dalam diskusi-disukusi ini adalah Haji Zamzami (1894-1952) dan Haji Mahmud Yunus[6]

2. Gerakan dan Paham Persis

Apabila dilihat dari segi aliran atau paham Persatuan Islam tergolong beraliran modernis dan reformis, organisasi ini memiliki paham tajdid (pembaharuan), artinya Persis tidak menganut salah satu madzhab baik dari segi hukum, maupun bidang kalam (teologi).[7]Persis sendiri mempunyai pengikut terbatas di kawasan etnik Sunda di Jawa Barat. Namun demikian organisasi yang aktif menyebarkan paham keagamaannya ( tajdid) melalui penerbitan-penerbitan beredar hingga negara tetangga seperti Singapura, Semenanjung Malaysia, Philipina dan Thailand. Tetapi khusus di Negara Jiran yang bermadhab syafi’i, buku-buku terbitan Persis yang berkenaan dengan hukum, ”diharamkan” beredar oleh beberapa Mufti di negara tersebut, karena bertentangan dengan madzhab Syafi’i.[8]

Perlu diingat, bahwa organisasi ini tidak berkembang pesat tidak seperti Muhammadiyah dan NU, karena salah satu faktornya adalah kurang memperhatian masalah organisasi, seperti pendirian cabang-cabang. Namun Persis mempunyai dua anggota yang sangat terkenal adalah Ahmad Hasan atau biasa di sebut dengan Hasan Bandung dan Moh. Natsir, keduanya pernah polemik dengan Bung Karno.[9]

C. Sarekat Islam (SI)

1. Kelahiran Sarekat Islam

Sarekat Islam adalah satu di antara organisasi politik Indonesia abad ke-20 yang paling menonjol. Organisasi ini didirikan oleh H. Samanhudi (1868-1956 M.) pada 11 November 1911. Salah satu tujuan jangka panjang organisasi ini adalah Islamisasi yang semakin mantap bagi masyarakat Indonesia.[10] Pada masa permulaan abad ini ketika rasa nasionalisme modern Indonesia masih baru tumbuh, kata Islam merupakan kata pemersatu bagi orang indonesia berhadapan bukan saja dengan pihak Belanda, melainkan juga dengan orang Cina.

Ingatlah sebab berdirinya Sarekat Islam adalah asal mula dari Sarekat Dagang Islam (SDI) yang diarahkan mulanya untuk memajukan perdagangan Bumi Putra di bawah panji-panji Islam. Ikatan terhadap islam seperti ini berarti juga bahwa pada tahun 1911-an Sarekat islam dapat menyebar ke penjuru Nusantara, dari Aceh di sebelah barat sampai Maluku sebelah timur, di samping meliputi segenap lapisan penduduk dari yang bawah sampai pada yang atas, karena lebih didorong oleh rasa seagama.[11]

2. Gerakan Sarekat Islam (SI)

Munculnya masyarakat madani yang agak kuat terjadi sejak awal berdirinya Sarekat Islam, karena Gerakan Sarekat Islam mempengaruhi sistem religio-politik pada waktu itu yakni pra-kemerdekaan Indonesia. Sedangkan gerakan SI dipengaruhi oleh Muhammad Abduh dari Mesir seperti pembaharuan Islam, seperti halnya Muhamadiyah dan Persis.[12]

D. Jong Islamieten Bond

1. Sejarah Berdirinya

Jong Islamieten Bond (Ikatan pemuda Islam), Jong islamieted Bond sendiri didirikan secara formal pada 1 Maret 1925 oleh Syamsurizal atau yang lebih terkenal dengan Syam dan kawan-kawanya. Ia adalah seorang pemuda terpelajar yang mempunyai pemikiran maju dan pernah menduduki jabatan sebagai ketua umum Jong Java. Syamsurizal adalah seorang murid dan pengikut Haji Agus Salim (1884-1954) semula bergabung dalam Jong Java (Jawa Muda). Tapi munculnya JIB disesalkan Jong Java. Jong Java beranggapan Perhimpunan baru berarti perpecahan padahal orang sedang mengusahakan persatuan. Jong Java melihat sebagian anggotanya tersedot masuk ke JIB. JIB berargumen bahwa mereka memperjuangkan persatuan nasional, walau dengan dasar Islam tapi orientasinya Indonesia.[13] Dapat penulis simpulkan bahwa dalam organisasi-organisasi pemuda itu ternyata ideologi keagamaaan dan ideologi sekuler ternyata tidak dapat disatukan.

2. Gerakan Jong Islamited Bond

Sebelum melangkah lebih jauh, bahwa tujuan didirikan JIB adalah untuk mempelajari dan mendalami Islam. Waktu itu pandangan orang-orang terpelajar yang memperoleh pendidikan ala Barat (Belanda) masih minim dalam pengetahuan agama Islam, Karena anggapan umum waktu itu, apabila seseorang ingin terpandang dan modern, mereka harus mendapat pendidikan yang diselenggarakan oleh penjajah. Sehingga beranggapan mempelajari dan mendalami Islam tidak penting.

Gerakan dan usaha-usaha yang dilakukan oleh JIB untuk mewujudkan cita-citanya, antara lain dengan jalan:

a) Menerbitkan brosur-brosur dan majalah dengan nama Het Licht (annur) secara berkala. Majalah didirikan pada April 1925 M. yang di pimpin oleh Wiwoho Purbohadidjojo.

b) Mengadakan kursus-kursus atau halaqah serta pembinaan kader-kader JIB.

c) Mengadakan kunjungan-kunjungan ke tempat penting dan berarti, hal ini yang biasa dilakukan oleh organisasi pemuda pada waktu itu.

Selain dari pada itu, JIB juga mendirikan organisasi khusus kaum wanita pada tahun 1925 dengan nama Jong Islamiten Bond Dames Afdeling (JIBDA), dengan gerakan dan tujuan untuk membela dan melindungi hak-hak wanita sesuai dengan ajaran Islam.[14]

Yang paling menumental dari JIB adalah keterlibatannya dengan Sumpah Pemuda pada tahun 1928, artinya JIB pada tahun itu adalah satu dari sepuluh pergerakan pergerakan pemuda yang mencetuskan sumpah pemuda. Wakil JIB yang menjadi pengurus pada konggres pemuda waktu itu adalah Johan Muhammad Cai, sebagai seorang anggota senior dan sebagai mahasisiwa.[15]

E. Nahdlatul Ulama

1. Latar Belakang Berdirinya NU

Nahdlatul Ulama adalah salah satu organisasi terbesar pertama di Indonesia, sebelum melangkah lebih penulis akan menjelaskan latar belakang berdirinya dahulu. Nahdlatul Ulama secara resmi berdiri pada tanggal 31 Januari 1926 M./1344 H. di Surabaya oleh sejumlah tokoh tradisional dan usahawan Jawa Timur.[16]Embrio organisasi ini pada tahun 1914, yaitu berdirinya organisasi Tashwirul Afkar, Nahdlatul Wathan, Nahdlatul Tujjar maupun Komite Hijaz yang secara kesemuannya merupakan salah satu bentuk reaksi terhadap situasi, kondisi dan perkembangan politik maupun sosial keagamaan ketika itu.[17]

Latar belakan NU didirikan karena ada dua sebab, pertama, reaksi dari aktifitas kelompok reformis (kaum pembaharu) yang semakin meluas di dalam Negeri, dalam hal ini adalah Muhammadiyah dan Sarekat Islam. Kedua, reaksi internasional. Hal ini dibagi menjadi dua, pertama, tepatnnya pada Februari 1945 M., Pemerintahan Kemalis Republik Turki menghapus jabatan Khalifah. Kedua, kekalahan penguasa Makkah, Syarif Husain oleh Abdul Aziz bin Sa’ud yang berpaham Wahabi, sekte puritan yang paling dogmatis dalam Islam.[18]

2. Gerakan dan Paham NU

Apabila kita ingin melihat gerakan dan pemahaman NU berarti kita harus melihat anggaran dasar NU, yang di dalamnya disebutkan dengan sangat eksplisit bahwa tujuan-tujuan NU adalah mengembangakan ajaran-ajaran Islam Ahlussunnah wal-Jama’ah dan melindunginya dari kaum pembaharu dan modernis, yang di jelaskan pasal kunci 2 dan 3.[19]

Gerakan NU dalam berdakwah adalah bersifat Tawassuth, al-I’tidal, al-tawazun dan al-tasamuh, selain itu juga NU sangat memperhatikan bidang kebudayaan sehingga organisasi ini mempunyai motto:

المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديدالأصلح

“Yang lama yang baik di pelihara dan dikembangkan. Yang baru yang lebih baik, dicari dan dimanfaatkan”.

Artinya warga NU tidak boleh ada sikap apriori, selalu menerima yang lama dan menolah yang baru atau sebaliknya menerima yang baru dan menolak yang lama.[20]

3. Peran Serta NU dalam Membangun NKRI

NU adalah salah satu organisasi yang tidak sedikit ikut serta dalam pembangunan bangsa ini, mulai pra-kemerdekaan sampai pasca-kemerdekaan. Sebelum kemerdekaan, contohnya salah satu tokoh NU yaitu KH. Wahid Hasyim sebagai BPUPKI. Sedangkan pasca kemerdekaan tepatnya pada 21 dan 22 Oktober 1945 M. wajib bagi warga Nahiyyin untuk berperang mempertahankan kemerdekaan Indonesia sebagai Jihad (perang suci) atau dikenal dengan Resolusi Jihad yang dinyatakan oleh KH. Hasyim Asyari.[21]Di era modern sekarang NU melebarkan sayapnya ke seluruh Dunia dengan mendirikan ICIS (International Comperence of Islamic Schoolar) pada tahun 2004 dan PCI (Pengurus cabang Indonesia) yang didirikan oleh KH. Dr. A. Hasyim Mudzadi.

Sejak didirikannya 1926-1952 organisasi ini fokus pada pembinaan umat menurut wawasan keagamaanya yang memang sesuai dengan wawasan keagamaan mayoritas kaum muslimin Indonesia, seperti halnya dakwah, ma’arif (pendidikan), Pengembangan ekonomi, tetapi NU pada tahun 1952 terlibat pada politik praktis sampai 1979 sehingga visi misi NU dalam pemberdayaan masyarakat kurang epektif, tapi pada 1982 sampai sekarang kembali pada visi misi semula yang biasa di kenal dengan kembali ke-Khittah 1926.[22]

F. Masyumi

1. Latar Belakang Berdirinya Masyumi

Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945 telah memberikan kesempatan yang sama kepada berbagai aliran politik di Indonesia untuk dengan bebas membentuk partai-partai politik sebagai sarana demokrasi seperti yang dinyatakan pasal 28 UUD 1945. Kesempatan ini tidak disia-siakan umat Islam. Pada tanggal 7-8 November 1945, melalui sebuah kongres umat Islam di Jogyakarta dibentuklah sebuah partai politik Islam dengan nama Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).[23]Tokoh yang menumental dalam partai Masyumi adalah Moh. Natsir, Ia pernah mengatakan:” Islam is not one humadred precent democracy, neither is it one hundred percent autocracy Islam is...Islam.[24] Artinya Nasir berpandangan bahwa Islam harus mempunyai sebuah partai sebagai wadah aspirasi suara umat Islam, tapi partai tersebut harus berasaskan Islam.

Di antara pendirinya adalah H. Agus Salim, Prof. Abdul Kahar Muzakkir, Abdul Wahid Hasyim, Muhammad Natsir, Muhammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Dr. Sukiman Wirdjosandjojo, Ki Bagus Hadikusumo, Muhammad Mawardi dan Dr. Abu Hanifah.[25]Sepanjang sejarahnya, Masyumi mempunyai delapan anggota istimewa, yaitu NU, Muhammadiyah, Persis, Persatuan Umat Islam, Al-Irsyad, Jam’iyatul Wasliyah, Al-Ittihadiyah dan Pesatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), Semua organisasi sosial keagamaan ini telah dibentuk pada masa penjajahan Belanda, dan telah aktif dalam bidang sosial, keagamaan dan pendidikan.[26]

2. Peranan Masyumi Dalam Membangun Bangsa Indonesia

Menurut Deliar Noer, organisasi ini dianggap sebagai satu-satunya partai politik bagi umat Islam dan di dalam catatan kaki pada bukunya, ia menjelaskan Nama Masjumi diperdebatkan hangat dalam kongres tersebut oleh karena nama tersebut mengingatkan pada organisasi masa jepang dengan nama yang sama. Nama ini akhirnya diterima dengan 52:50 suara; nama Partai Rakyat Islam ditolak, tetapi nama partai Masjumi pasca kemerdekaan itu tidak merupakan kependekan, berlainan dengan nama tersebut pada Jepang.[27]

Ketika Sukarno menggelar demokrasi terpimpin, parlemen yang dipilih pada pemilu 1955 dibubarkan dan digantikan dengan DPR Gotong Royong (DPRGR) dan Sukarno menciptakan akronim Nasakom (nasionalisme, Agama dan Komunisme). Partai Masyumi yang paling kosisten menentang kebijakan Sukarno dan akhirnya Masyumi dibubarkan oleh Sukarno pada tahun itu juga. [28]

Apabila ditinjau dari program pejuangan Masyumi dalam hidup bernegara, ialah mengacu pada kongres Masyumi tahun 1952 yang terbagi menjadi tujuh bagian: kenegaraan, perekonomian, keuangan, sosial pendidikan dan kebudayaan, luar negeri dan Irian Barat (Papua).[29]

III. SIMPULAN

Dari uraian di atas, penulis dapat simpulkan bahwa organisasi baik politik maupun non-politik di Indonesia mulai pra-kemerdekaan sampai pasca kemerdekaan mempunyai pengaruh bagi kehidupan berbangsa dan bernegara pada abad 21 ini. Organisasi Masyarakat (ormas) di Indonesia banyak bermunculan pada jaman penjajah sampai era kemerdekaan. Namun ada masih eksis sampai sekarang seperti Muhammadiyah, persis dan Nahdlatul Ulama yang terus mengembangkan dakwahnya baik bi-lisan maupun bil-hal di Negara ini. Dan ada juga yang tinggal sejarahnya seperti Masyumi, Sarekat Islam dan Jong Islamiten Bond.

Namun dari sejarah ormas yang masih eksis sampai sekarang dan yang sudah tinggal sejarahnya, kita harus mengambil pelajaran dari sejarah yang telah diperbuat oleh pendahulu kita untuk membangun Bangsa ini.

Daftar Rujukan

Abdullah, Taufiq…[et al]. 2002. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.

Ahmad, Komaruzzaman Bustan. 2002. Islam Historis, Yogyakarta: Galang Fress.

Bruinessen, Martin van. 1999. NU Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana baru. Yogyakarta: LkiS.

Dawisha, Adeed [ed]. 1986. Islam in Foreign Policy. Sydney: Cambrige Univeristy Press.

Esposito, John. 1985. Islam and Politics New York: Syracuse University Press.

Harun, Yahya. 1995. Sejarah masuknya Islam di Indonesia, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta.

Ismail, Faisal. 2003. Ketegangan Kreatif Peradaban Islam. Jakarta: Bakti Asara Persada.

Mahendra, Yuril Ihza. 1999. Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam. Jakarta: Paramadina.

Noer, Deliar. 2000. Partai Islam Di Pentas Nasional: Di Pentas Nasional. Bandung: Mizan.

Siddiq, Ahmad. 2005. Khittah Nahdiyyah. Surabaya: Khalista.

Thaba, Abdul Aziz. 1996. Islam dan Negara. Jakarta: Gema Insani Press.

Tim Pembina Al-Islam dan kemuhammadiyahah. Universitas Muhammadiyah Malang. 1990. MUHAMMADIYAH Sejarah, Pemikiran dan Amal Usaha. Malang:Universitas Muhammadiyah Malang Press.

Wijdan SZ, Aden. Dkk. 2007. Pemikiran & Peradaban Islam. Yogyakarta: Safaria Insania.

[1] Tim Pembina Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, Universitas Muhammadiyah Malang, MUHAMMADIYAH Sejarah, Pemikiran dan Amal Usaha, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Press, 1990), hlm. 3.

[2] Taufiq Abdullah…[et al], Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), vol. 5, hlm. 365.

[3] Tim Pembina Al-Islam dan kemuhammadiyahah,Universitas Muhammadiyah Malang, op.cit, hlm.4.

[4] Penjelasan lebih jelas tentang itu semua lihat: Yahya Harun, Sejarah masuknya Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 1995), hlm. 38-39.

[5]Faisal Ismail, Ketegangan Kreatif Peradaban Islam,(Jakarta: Bakti Asara Persada, 2003), hlm. 3.

[6] H. Zamzami menghabiskan tiga tahun belajar di Dar Al-Ulum Mekkah, kemudian menjadi salah guru di Madrasah Darul Muta’alimin di Bandung sekitar tahun 1910. Ia dikenal dengan Ahmad al-Surati, pendiri Al-Irsyad dan pendukung Islam fundamental di Indonesia, Sedangkan Muhammad Yunus, walupun ia seorang pedagang, tetapi tertarik pada masalah-masalah keagamaan dan mengkoleksi sebuah perpustakaan karya-karya Islam. Komaruzzaman Bustan-Ahmad, Islam Historis, (Yogyakarta: Galang Fress, 2002), hlm. 46.

[7]Yuril Ihza mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 183.

[8] Ibid., hlm. 184.

[9] Moh. Natsir adalah seorang pemuda cerdas yang menjadi juru bicara Persis di kalangan kaum terpelajar, selain dipersis ia anggota JIB dan masjumi, lihat: Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara: Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 135.

[10] Komaruzzaman Bustan-Ahmad, op. cit. hlm. 44.

[11] Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas Nasional: Di Pentas Nasional, (Bandung: Mizan, 2000),cet. II, hlm. 5.

[12] John Esposito, Islam and Politics, (New York: Syracuse University Press, 1985), halaman 119.

[13] Ibid. hlm. 9. Lihat: Yahya Harun, op.cit., (Yogyakarta: Kurnia kalam Semesta, 1995), hlm. 42-58.

[14]Ibid., hlm. 48-49.

[15] Adapun tokoh-tokoh JIB yang terlibat dan berperan dalam Sumpah Pemuda antara lain: Kasman Singodimedjo, Moh. Natsir, Muhammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Yusuf Wibisono, Wiwoho Purbohadidjojo, Syamsurrijal, Syahbuddin Latif, Sudewo, MT. Utsman El Muhammady, Ir. Indra Tjaja, Syamsuddin Sutan Mahmud, Rustam Sutan Palindih, Zainul Bahauddin, MA., Dasuki dan lain-lain. Dikalangan wanita antara lain: Ny Sunaryo Mangunpuspito, Ny Emma Puradiraja, Ny Datuk Tumenggung, dan Ny. SZ. Gunawan. Ibid., hlm. 54.

[16]Jam’iyah Nahdlatul Ulama didirikan oleh para kiyai diantaranya: KH. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syamsuri, KH. Ridwan, KH. Asnawi, KH. R. Hambali, KH. Nahrawi, KH. Muntaha dan KH. Nawawi. Lihat: Martin van Bruinessen, NU Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana baru, (Yogyakarta: LkiS, 1999), cet. III, hlm. 17.

[17] Yahya Harun, op. cit., hlm. 58.

[18] Martin van Bruinessen, op. cit, hlm. 26.

[19] Untuk lebih jelas naskah AD/ART NU, lihat lampiran IV halaman 307. Ibid., halaman 43.

[20] Ahmad Siddiq, Khittah Nahdiyyah, (Surabaya: Khalista, 2005), cet. III, hlm. 66-67

[21] Martin van Bruinessen, op. cit, hlm. 59.

[22] Ahmad Siddiq, op.cit, halaman 4-5.

[23] Aden Wijdan SZ. Dkk, Pemikiran & Peradaban Islam, (Yogyakarta: Safaria Insania, 2007), hlm. 159.

[24] John Esposito, op. cit., halaman 232.

[25] Nama-nama tersebut hasil wawancara dengan Muhammad Natsir di Jakarta,3 Juli 1982; dengan Muhammad Roem di Jakarta, 14 Juli 1982; dengan Mohamamd Mawardi di Yogyakarta, 5 Januari 1985. Pertemuan persiapan pembentukan Masyumi dilakukan di Jakarta dan Yogyakarta. Lihat :Yuril Ihza mahendra, op. cit., (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 62-3.

[26] Ibid., hlm. 183.

[27] Deliar Noer, op. cit, hlm. 51.

[28] Adeed Dawisha [ed], Islam in Foreign Policy, (Sydney: Cambrige Univeristy Press,1986), hlm. 147.

[29] Ibid., hlm. 148-5.

1 komentar:

  1. Makin banyak ormas Islam makin baik untuk Perjuangan Dakwah Islam.
    Tapi dua sayap Islam indonesia masih Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.

    BalasHapus