Rabu, 13 Oktober 2010

FAJAR KEBANGUNAN ULAMA Biografi K.H. Hasyim Asy’ari

RESENSI BUKU

Oleh: Rosidi
Dosen Pembimbing: Dr. Arif Zamhari, Ph.D.

DATA BUKU
Judul : FAJAR KEBANGUNAN ULAMA Biografi K.H. Hasyim
Asy’ari
Penulis : Drs. Lathiful Khuluq, M.A.
Bahasa : Indonesia
Penerbit : LKiS, Yogyakarta (2000)
Cetakan : I Januari 2000
Tebal : 150 halaman
ISBN : 979-8966-37-6

Dalam buku ini, Luthiful Khuluq mencoba menawarkan kajian pemikiran agama dan aktifitas politik KH. Hasyim Asy’ari (1871-1947), pendiri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dan Nahdhatul Ulama yang cukup komprehensif mengenai biografinya. Buku biografi ini membahas kehidupan, latar belakang pendidikan dan lingkungan pesantren KH. Hasyim Asy’ari untuk memahami karir dan kejadian-kejadian yang mengilhami beliau. Sebagaimana yang terdapat dalam bab satu, kombinasi kesempatan yang disediakan oleh keluarganya serta kerajinan dan kecerdasanya, K.H. Hasyim Asy’ari dapat memperoleh kesuksesan.
Di dalam riset untuk penulisan tesis ini, Luthiful Khuluq menggunakan data-data yang bersumber antara lain:
1. Bahasa Indonesia, seperti buku Biografi 5 Rais ‘Am Nahdhatul Ulama (1995), Kemelut NU, antara Kiai dan Politisi (1982), Perang di Jalan Allah (1987) dan lain-lain.
2. Bahasa Inggris, seperti buku Dutch Politik Against Islam and Indinesian of Arab Desent in Indonesia (1994), Java in Times of Revolution, Occupation and Resistance 1944-196 (1972), Indonesia’s Elite, Modern Islamic Political Thought (1982) dan lain-lain.
3. Bahasa Arab, seperti Ihya’’ama’il al-fudhala’fi trajamat al-qonun al-asasi li al-jam’iyat al-nahdat al-ulama (1968), Al-Mawaa’izh Sjaich Hasjim Asj’ari (1959), Ziyadat ta’liqat ‘ala manzumat al-Shaikh’Abd, b. Yasin al-Fasuruwani (1995) dan lain-lain.

Sumber-sumber buku di atas telah memberikan informasi, bahwa buku ini sudah cukup lengkap dan objektif, karena buku-buku sebagai sumber buku ini ditulis oleh orang-orang NU sendiri, Muhammadiyah dan peneliti dari Barat, sehingga layak dibaca khususnya kalangan NU, mahasiswa maupun masyarkat umum.

Pada bagian awal Khuluq menyampaikan, bahwa buku dari hasil tesis ini tidak mungkin selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak, baik kepada pembimbing penulisan tesis, Dr. Howard M. Faderspiel, beberapa lembaga dan teman-temannya, terutama kepada pihak keluarga KH. Hasyim Asy’ari sehingga buku ini benar-benar objektif.

Sebagai ilustrasi pada halaman 12, khuluq menyatakan tentang sketsa biografi KH. Hasyim Asy’ari, bahwa kehidupan beliau mungkin dapat digambarkan dengan kata-kata sederhana,”Dari pesantren kembali ke pesantren”. Artinya Hadhratussyaikh Hasyim Asy’ari dibesarkan di lingkungan pesantren. Kemudian beliau melaksanakan ibadah haji dan belajar di lingkungan seperti pesantren yaitu Masjid al-Haram dan Masjid al-Nabawi selama tujuh tahun (masing-masing di Mekah dan Madinah). Beliau kembali ke Nusantara untuk mendirikan pesantren sendiri dan menghabiskan sebagian waktunya mengajar para santri di pesantren. KH. Hasyim bahkan mengatur “kegiatan-kegiatan politik’ dari pesantren. Dalam penjelasan Khuluq tadi mengingatkan kita, bahwa kesungguhan, kegigihan dan perjuangan Hadhratussyaikh Hasyim Asy’ari patut kita teladani.

Dalam buku ini menjelaskan, kemampuan keilmuan dan intelektual Hadhratussyaikh Hasyim Asy’ari yang merupakan hasil dari belajar keras selama waktu yang tidak pendek. Hal ini menyebabkan beliau dihargai banyak ulama dan pejabat dan politikus. Pada usia muda, Mbah Hasyim (panggilan seorang tokoh) belajar berbagai disiplin ilmu kepada para kiai di berbagai pesantren, mulai dari nahwu, sharaf, balaghah, tafsif, hadits, aqidah, tasawuf dan lain sebagainya, sebelum melanjutakan studi di tanah Hijaz. Setelah belajar di tanah air, beliau belajar ke tanah Haromain (mekah dan Madinah) di bawah bimbingan beberapa ulama terkenal baik yang berasal dari Indonesia maupun negara lain yang kedalaman ilmunya tak diragukan lagi. Karena itu beliau bersikap toleran pada pendapat orang lain dan menyerukan persatuan dan kesatuan.

Khuluq menganalisa, keberhasilan Mbah Hasyim dalam membangun dan mendidik para santri di karenakan tujuh faktor. Pertama, metode pengajarannya sangatlah menarik dikarenakan ke dalaman ilmunya dan pengalamanya dikarenakan beliau memulai mengajar pada usia remaja. Selain itu beliau dalam metode pengajaranya mengkombinasikan dengan metode yang ditawarkan oleh para kiyai dan guru pada waktu beliau belajar di pesantren mereka.
Kedua, Seorang guru, Mbah Hasyim memberikan perhatianya kepada para santri yang mempunyai kemampuan dan bakat khusus yang diperkirakan akan menjadi ulama besar pada saat mendatang, setelah mereka dibekali ilmu dan pengalaman mengelola pesantren. Setelah mereka pulang di daerahnya masing-masing, hadhratussaikh Hasyim Asy’ari tidak tinggal diam, tetapi beliau menikahkan alumninya dengan putri anak saudagar kaya, dengan tujuan agar mampu membiayai pesantren baru yang mereka bangun. Selain itu beliau juga mengirimkan santrinya sendiri ke pesantren baru tersebut, tradisi tersebut sudah sering dipraktekkan dalam mendirikan pesantren. Para Gus (sebutan putra kiai Jawa Timur) yang sudah jelas mereka akan meneruskan kepemimpinan pesantren ayah mereka, sehingga KH. Hasyim Asy’ari memberikan perhatian khusus dalam mengajar.
Ketiga, hal yang sangat urgen dan berguna bagi para alumni untuk berpartisipasi dalam arena sosial dan politik Indonesia, sehingga Mbah Hasyim mengajarkan pendidikan non-agama di pesantren Tebuireng disamping pendidikan agama. Dalam kenyataannya, penguasaan ilmu sekuler dan agama tidak hanya membuka kesempatan bagi para lulusan pesantren ini untuk berpartisipasi dalam kegiatan “sekuler” tetapi juga diterima oleh masyarakat agamis, sehingga mereka mampu menjadi “ perantara budaya” dari masyarakat agamis ke masyarkat sekuler.
Keempat, Di samping diajarkan ilmu “sekuler”, Tebuireng juga mengajarkan bidang manajemen dan organisasi. Mbah Hasyim memberikan pengajaran ini, mendorong agar para santri membentuk organisasi santri menurut daerahnya mereka. Para santri juga diperbolehkan mengikuti organisasi-organisasi berskala nasional yang mempunyai cabang di Tebuireng. Hal ini menjadi ajang latihan kepemimpinan di masa depan. Selain itu juga, pesantren Tebuireng diajarkan seni pidato, bahkan kebebasan berpikir relatif diberikan di pesantren tersebut, terbukti banyak para alumni Tebuireng berkecimpung dalam organisasi modern Muslim.
Kelima, Pesantren Mbah Hasyim, menjadi pusat pendidikan tingkat tinggi terutama dalam bidang hadits. Kebanyakan para santri Tebuireng dari pesantren - pesantren lain. Selain itu, KH. Hasyim As’yari dipandang sebagai Kiai agung dan karismatik yang mempunyai ilmu sangat tinggi terutama dalam hadits.
Keenam, Hadhratusyaikh Hasyim Asy’ari memberikan kesempatan bagi putra-putrinya bahkan keluarga dekat lain untuk melanjutkan ke pesantren-pesantren bahkan ada yang melanjutkan ke negeri Hijaz untuk meneruskan tongkat kepemimpinan pesantren Tebuireng. Hal ini untuk menjaga agar pesantren tetap berkembang walaupun sang pendiri sudah meninggal. Selain itu, pesantren senior yang sudah dianggap mampu untuk menjadi asistennya dalam mengurus pesantren. Hal itu tidak hanya membantu Mbah Hasyim dalam mengelola pesantren, namun melatih mereka agar mampu mendirikan dan mengelola pesantren kelak.
Ketujuh, karena karismatik Mbah Hasyim, sehingga dukungan dan rasa hormat dari banyak kiyai dan orang kaya khususnya di Jawa, membantu baik moril maupun materil dalam perkembangan pesantren. Seperti waktu pesantren Tebuireng dibumihanguskan oleh Belanda, para kiyai menyarankan para santrinya untuk melenjutkan studinya di Tebuireng dan orang kaya berbondong-bondong membantu secara finansial untuk pembangunan kembali pesantren Tebuireng sangat penting dalam perkembangan pesantren Mbah Hasyim As’yari.

Sesudah dijelaskan tentang faktor keberhasilan Mbah Hasyim dalam mendidik para santri dalam buku ini, kemudian pada halaman 41-65 khuluq membagi pemikiran KH. Hasyim Asy’ari empat bagian. Pertama, KH Hasyim Asy’ari mempercayai keabsahan doktrin Ahl al-Sunnah wal-Jama’ah yaitu mengikuti jalan Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin sebagaimana yang dijalankan oleh empat madzhab Sunni. Karena faktor pertama tadi Mbah Hasyim mengikuti tradisi Sunni. Kedua, KH. Hasyim Asy’ari mengikuti teologi As’ariyah dan Ma’turidiyah yang dianggap sebagai formulasi teologi yang baik. Keempat, dalam bidang Tasawuf, Mbah Hasyim mengikuti paham sufi ortodoks, sebagaimana yang dirumuskan oleh Imam Junaidi al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali. Sufi jenis ini menekankan pada peningkatan nilai-nilai moral dan kesalehan dengan jalan melaksanakan ajaran-ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Sufisme ini bukanlah yang menjurus pada praktek panteistik dan syirik. Tetapi sesuai dengan ajaran-ajaran Sunni. Dalam penjelasan tentang pemikiran Mbah Hasyim, Khuluq berusah menjelaskan dengan gambling dan jelas dalam bukunya, agar para pembaca bisa membedakan antara ajaran Sunni yang dianut oleh jam’iyah Nahdlatul Ulama dengan Ajaran Syi’ah, Salafi, Wahabi dan lain sebagainya.

Selanjutnya, Khuluq dalam buku ini, menejelaskan tentang bidang sosial dan politik KH. Hasyim Asy’ari, agar anggapan kalangan modern yang mencitrakan bahwa kalangan radisionalis atau sarungan hanya mengurusi bidang agama saja dan tidak peduli dengan bidang sosial dan politik. Cap ini tidak dapat dibenarkan pada KH. Hasyim Asy’ari yang mewakil kelompok tradisional atau kaum sarungan. Kiprah sosial dan politik Mbah Hasyim baik regional maupun nasional, menunjukan kalangan tradisional yang diwakili KH. Hasyim As’yari adalah pleksibel dan dinamis. Hal ini sesuai dengan sifat Islam sendiri yang tidak membedakan antara kegiatan agama murni dengan kehidupan sosial, politik, ekonomi dan sebagainya.

Kita telah melihat bahwa pemikiran keagamaan KH.Hasyim Asy’ari dalam buku ini pada, sehingga pemikirannya sangat berpengaruh terhadap para murid, pengikut, dan NU. Salah satu contoh kongkrit adalah penerimaan NU atas “ajaran-ajaran beliau” sebagai qonun asasi atau dasar-dasar organisasi NU. Bukti lain pengaruh Mbah Hasyim adalah bahwa karya-karya monumental beliau diterjemahkan, diterbitkan dan dibaca oleh banyak orang, baik jam’iyah NU sendiri maupun kelompok lain. Selain dari pada itu, ada istilah kembali Kepada Ke- khittah 1926, ini bisa dianggap sebagai upaya untuk kembali Kepada Yth: bentuk NU ketika dipimpin dan diformulasikan oleh KH. Hasyim Asy’ari.

Khuluq dalam buku ini pada bab III halaman 69-106, memaparkan panjang lebar tentang aktivitas politik KH. Hasyim Asy’ari berkaitan dengan kondisi yang menimpa negara dan masyarakat sebelum dan sesudah kemerdekaan bangsa Indonesia. Sikap non-kooperatif beliau terhadap pemerintahan kolonial Belanda sejalan dengan yang dilakukan oleh kebanyakaan pemimpin tradisional yang menyingkir Kepada Yth: daerah pedesaan untuk menhindari keontak langsung dengan pemerintahaan Hindia Belanda yang berpusat di kota. Tindakan Mbah Hasyim ini menyebabkan adanya gap antarkaum santri dengan Belanda, terutama setelah mereka terlibat perang bersenjata dalam waktu yang cukup lama dengan kemenangan di pihak Belanda yang menguasai Nusantara. Sebaliknya, umat islam yang dulu berjaya dengan kerajaannya seperti kerajaan Demak, Mataram Islam, Banten dan Cirebon harus menerima kenayataan dijajah oleh Belanda.
Politik KH. Hasyim Asy’ari dalam melawan penjajah menggunakan dua jalan yaitu mempertahankan budaya melalui pendidikan pesantren dan fisik. Sebagaimana para kiai lain, Hadhratussaikhi Hasyim As’ari kemudian memberikan perlawanan kultur, satu-satu perlawanan yang bisa mereka berikan. Perlawanan ini dengan jalan mendirikan pesantren-pesantren di pedesaan yang dijadikan sebagai basis latihan pemimpin masa depan dan pelestarian kultur kaum sarungan sebagai alternative terhadap pendidikan model Barat. Dalam pendidikan pesantren, para santri tidak hanya diajarkan agama dan umum, tapi juga dilatih untuk hidup mandiri. Mereka juga menerima latihan kepemimpinan dan bela diri untuk menyongsong kemerdekaan Indonesia, sikap non-kompromi mereka terhadap penjajah Belanda disebabkan perlakuan keras Belanda terhadap kaum tradisional.

Khuluq menulis juga pada buku ini tentang jasa-jasa KH. Hasyim Asy’ari. Salah satu jasa beliau yang patut kita banggakan adalah menyatukan organisasi-organisasi Islam ke dalam satu wadah organisasi, meskipun sebelumnya mereka ada konflik karena berbeda pandangan ideologi. Persatuan tersebut antara lain diilhami oleh pidato beliau yang menyerukan tentangpersatuan dan kesatuan umat. Persatuan umat sangat penting untuk menghadapi musuh bersama bangsa Indonesia yaitu penjajah Belanda. Pada waktu itu belanda mempunyai politik “pecah belah dan kuasai” (devide et impera), selain itu juga beliau menyatukan organisasi yang bercorak Islam dan organisasi yang bercorak sekuler, penyatuan tersebut untuk bertujuan bersama. Namun kerjasama antara organisasi corak Islam dengan sekuler tidak berlangsung lama, karena sikap kedua corak tesebut berbeda dalam menyikapi kedatangan penjajah Jepang.

Harapan bangsa Indonesia terhadap pendudukan Jepang, yaitu akan membersihkan sisa-sisa kolonialisme Belanda. Tapi harapan itu hanya sebuah angan-angan belaka, karena dikejutkan dengan kebijakan Jepang yang melarang semua gerakan sosial dan politik pada 15 Juli 1942. Bahkan beberapa pemimpin ditangkap. Sampai Januari polisi Jepang (Kempetai) mengambil tindakan yang sangat keras terhadap siapa saja yang dicurigai melakuakan gerakan bawah tanah. Salah satu pemimpin tersebut adalah KH. Hasyim Asy’ari yang pernah dipenjara selama empat bulan, karena dituduh menjadi dalang kerusuhan dipabrik gula. Alasan tersebut dibuat-buat oleh Jepang. Alasan sebenarnya adalah karena Mbah. Hasyim Asy’ari menolak dan mengeluarkan fatwa bahwa umat Islam dilarang melakukan saikeirei . Dipenjaranya beliau mungkin juga karena persepsi negative pemerintahan Jepang terhadap Islam pada masa kependudukannya.

Tetapi tekanan keras terhadap umat islam secara umum, khususnya KH. Hasyim Asy’ari sebagai tokoh kelompok tradisional tidak berlangsung lama. Jepang mengubah politiknya menuju perbaikan hubungan dengan para ulama dan memberikan mereka dan para pengikutnya pekerjaan-pekerjaan birokrasi, walaupun terbatas hanya di Kementerian Keagamaan dan latihan-latihan militer ringan. Kesempatan dipergunakan oleh KH. Hasyim Asy’ari dengan sebaik-baiknya untuk mempersiapkan diri menyongsong kemerdekaan bangsa Indonesia. Karena itu beliau menerima tawaran untuk menduduki Kementerian Agama (Syumubu) dibantu oleh putra beliau, KH. Abdul Wahid Hasyim dan para pengikutnya. Selain itu juga Mbah Hasyim sangat berperan di Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) semasa Jepang dan awal kemerdekaan mengingat beliau menduduki ketua puncak organisasi ini. Menjelang berakhirnya pendudukan Jepang, KH. Hasyim Asy’ari dan para pengikutnya lebih kritis terhadap Jepang untuk mendesaknya agar secepatnya memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Setelah kemerdekaan Indonesia, Belanda yang dibantu sekutu dingin menjajah bangsa ini kembali, disini KH. Hasyim Asy’ari sangat berperan dalam mempertahankan kemerdekaan dengan mengeluarkan fatwa Jihad, mengingat posisi dan karismatik beliau sendiri di mata umat dan ulama terutama di Jawa.
Dari pemaparan Khuluq dalam menulis buku ini tentang studi biografi KH. Hasyi Asy’ari dapat memberi gambaran yang lebih jelas dan memberi pencerahan untuk generasi bangsa ini dan semoga keteladanan dan perjuangan beliau menjadi pelajaran kita. Khuluq mengutip dari Arifin,penulis buku Kepemimpinan Kiai, tentang ajakan KH. Hasyim Asy’ari kepada bangsa dan negara Indonesia untuk melaksanakan teloransi,persatuan, persamaan, keadilan dan demokrasi masih sangat relevan untuk tetap diperhatiakan sampai kini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar