tag:blogger.com,1999:blog-12768320081229786882024-03-13T05:34:12.760-07:00PERJUANGAN UNTUK BANGSAMana mungkin jadi orang luar biasa kalau hidup kita biasa-biasa sajaEl_zubadyhttp://www.blogger.com/profile/10020201426802177871noreply@blogger.comBlogger6125tag:blogger.com,1999:blog-1276832008122978688.post-24031212069785881572010-10-14T23:49:00.001-07:002010-10-15T06:03:57.880-07:00NASARUDDIN AL-TUSI<div style="color: rgb(0, 0, 153); text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-family:lucida grande;">NASARUDDIN AL-TUSI</span><br />Oleh: Ahmad Rosyidi<br />Dosen Pembimbing: Mutamakin, S. Fil, M.A<br /><br />I. PENDAHULUAN<br /></div><span style="color: rgb(0, 0, 153);font-family:arial;" >Sejarah merupakan salah satu tolak ukur dalam kehidupan yang akan datang dan sejarah bisa dianalogikan dengan cermin, karena dengan sejarahlah kita bisa mengambil pelajaran darinya. Al-Quran dalam salah satu suratnya yang ke-28 mengunakan nama al-Qashash yang mempunyai arti cerita atau kisah dan nama surat yang ke-78 al-Naba yang berarti kabar besar. Bung Karno pernah pernah mengucapkan, “jasmerah” (jangan sekali-kali meninggalkan sejarah). Dari sinilah bahwa sejarah sangat penting untuk kita pelajari dan direnungi. </span><br /><div style="font-family: arial; color: rgb(0, 0, 153); text-align: justify;"><!— more -->Tidak ada sejarah intelektual di dunia Islam yang begitu menantang dalam benak pikiran kita selain sejarah filsafat, baik yang berupa sejarah murni maupun sejarah tasawuf falsafi. Fisafat di dunia Islam terbagi menjadi dua golongan yaitu dari timur dan barat. Timur diantaranya al-Kindi, Ibnu Sina, dan al-Ghazali, sedangkan dari barat salah satunya adalah Ibnu Rusyd.<br />Pada masa setelah tokoh kenamaan Ibnu Rusyd dalam bidang filsafat (w. 595 H/1198 M.) dari Cordova, munculah tokoh-tokoh cendikiwan muslim diantaranya Nasaruddin al-Tusi, Muhammad Iqbal dan Mulla Sadra. Di makalah ini, penulis akan membahas Nasaruddin al-Tusi, ia adalah salah satu ilmuan yang berpengaruh pada waktu itu, karena ia menguasai berbagai disiplin ilmu, diantaranya Fisika, sejarah, astronomi dll.<br />Bedasarkan pada judul di atas, penulis akan membahas sejarah kehidupan, pendidikan, hasil karya dan ajaran Nasaruddin al-Tusi yang notabene ia adalah ilmuan kanamaan di dunia Islam dan Barat.<br /><a name='more'></a><br />II. PEMBAHASAN<br />2.1. Riwayat kehidupanya<br />Tusi nama lengkapnya adalah Khwajah Nasir al-Din abu Ja’far Muhammad ibn Muhammad ibn Hasan. . Ia terlahir pada 18 Februari 1201 M/597 H. di kota Tus yang terletak di dekat Meshed, Persia – sekarang sebelah timur laut Iran. Nama ayahnya Muhammad bin Hasan.<br />Sejarawan sains kerap menyejajarkan kemasyhuran Nasirudin al-Tusi dengan Thomas Aquinas. Betapa tidak, al-Tusi memang seorang saintis Agung yang terlahir di dunia Islam pada abad ke-13 M. Kontribusinya bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern begitu luar biasa. Hidupnya didedikasikan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan peradaban.<br />Nasaruddin Muhammad al-Tusi (1201-1274) adalah arsitektur observatorium terbesar di Maraghah, Hasil Pengamatanya disusun dalam kitab Jiz Il –Khani (table Ilkhan). Tabel tersebut tersebut terkenal di Asia bahkan sampai sampai ke Cina. Observasi ini dugunakan bagi keberadaan astronomi dan matematika pada akhir abad ke-7/ke-13 M. Di samping itu juga, observasi ini sangat penting dalam tiga hal lainnya. Pertama. Tusi sebagai pembuka pintu komersialisasi observatorium di masa mendatang. Kedua, Pembuat observatorium Maraghah menjadi suatu majelis yang hebat yang terdiri atas orang-orang pandai dan terpelajar dengan membuat rencana khusus untuk mempelajaran ilmu filsafat, di samping matematika dan astronomi, dan juga dengan menyisihkan uang sokongan itu untuk bea-siswa. Ketiga observatorium itu dihubungkan dengan sebuah perpustakaan besar tempat disimpannya khazanah pengetahuan yang masih utuh pada masa penaklukan Irak, Syiria dan daerah lainya oleh bangsa Mongol dan Tartar.<br />Tusi adalah orang filosofis besar golongan Syi’ah yang diakui semua kalangan sebagai penafsir dan pembela terbaik pemikiran Ibnu Sina terhadap serangan al-Ghazali dan pengikutnya. Al-Ghazali adalah salah satu tokoh besar suni, sehingga dikalangan suni, Tusi dianggap sebagai pengkhianat yang berkolabrasi dengan Hulagu, pendiri dinasti II khan yang menduduki Baghdad pada tahun 656 H/1258 M. dan menghancurkan kekhalifahan suni. Walaupun demikian Tusi tetap konsisten dengan tekadnya sebagai seorang ilmuan untuk mengembangkan observasinya, sehingga ia berpengaruh di bawah Aqaba, sebagai pengganti Hulagu, tanpa mendapat rintangan sampai ia meninggal pada tahun 672 H/1274 M.<br />2.2. Pendidikannya<br /><br />Ayah Tusi adalah guru pertama baginya. Sejak belia, al-Tusi digembleng ilmu agama oleh sang ayah yang berprofesi sebagai seorang ahli hukum di Sekolah Imam kedua belas. Selain digembleng ilmu agama di sekolah itu, al-Tusi juga mempelajari beragam topik ilmu pengetahuan lainnya dari sang paman.<br />Setelah Tusi meninggalkan kota kelahirannya, ia pergi ke kota Baghdad. Di sana ia belajar tentang ilmu pengobatan dan falsafat dari guru Qutb al-Din, dan matematika dari Kamal al-Din ibn Yunus, dan fiqh serta ushul fiqh dari Salim ibn Badran. Menurut O’Connor dan Robertson, pengetahuan tambahan yang diperoleh dari pamannya itu begitu berpengaruh pada perkembangan intelektual al-Tusi. Pengetahuan pertama yang diperolehnya dari sang paman antara lain; logika, fisika, metafisika. Ia begitu tertarik pada aljabar dan geometri. Kemudian dia mempelajari fiqh, ushul fiqh, hikmah, dan kalam dan juga isyaratnya Ibnu Sina dan matematika<br />2.3. Hasil karyanya<br />Tusi menguasai berbagi jenis disiplin ilmu, mencakup filsafat, matematika, astronomi, fisika, ilmu pengobatan, minerologi, musik, sejarah, kesusteraan, dan dogmatik. Karya-karya penting di antaranya sebagai berikut: Asas Al-Iqtibas (logika), Tajrid Al-Aqai’id (dogmatik), Akhlaq-I Nasiri (etika), Risalah Darurat-i Marg (Metafisika).<br />Adapun karya-karya khusus pegangan Syi’ah adalah: Al-Istibsar, Tahzib al-Ahkam, Rijal al-Kasyi, Al-Gha'ibah, Al-Tibyan.<br />2.4. Ajarannya<br />Ajaran Nasaruddin al-Tusi dalam bidang filsafat banyak sekali, di antaranya logika, etika/akhlak, metafisika, kejiwaan, politik, baik dan buruk, ilmu rumah tangga dan kenabian.<br />Tapi penulis sendiri akan membahas salah satunya, yaitu logika. Tusi menganggap logika sebagai suatu ilmu dan suatu alat ilmu. Sebagai ilmu, ia bertujuan memahami makna-makna dan sifat-sifat dari makna yang dipahami itu. Adapun ilmu sebagai alat, ia menjadi kunci untuk memahami berbagi ilmu. Kemudian setelah mendefinisikan logika, Tusi memulai dengan pembahasan pendek mengenai teori pengetahuan. Semua pengetahuan adalah suatu konsep (tashawwur) atau penilaian (tashdiq), yang pertama didapat melalui definisi sedangkan yang kedua melalui silogisme. Jadi kesimpulanya ialah definisi dan silogisme merupakan dua alat yang digunakan untuk mencapai pengetahuan. Dengan demikian logika sebagai hukum untuk berfikir tepat. Tusi merumuskan dengan sederhana, yakni menghasilkan pengetahuan yang benar melalui dua alat tersebut.<br />III. PENUTUP<br />Berdasarkan uraian sebagaimana di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagia berikut:<br />1. Dari sejak kelahirannya, Tusi telah menunjukan tanda-tanda sebagai ilmuan yang menguasai disiplin ilmu, dikarenakan ia lahir dari keluarga inelektual.<br />2. Apabila dilihat dari karya-karyanya yang begitu banyak mulai dari astronomi, metafisika, akhlak dll, maka ia adalah ulama sekaligus intelektual yang terampil dan produktif.<br />3. Ajararan-ajaran Tusi menekankan pada immaterial, seperti logika, akhlak dll.<br /><br />DAFTAR RUJUKAN<br />Abdullah, Taufiq…[et al.], Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan peradaban, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoever), vol. IV, halaman 251.<br />http://ikhwan85.blogspot.com/2009/04/siapa-al-tusi-yang-disanjung-syiah.html, diakses pada pukul 13.47. di Perpustakaan Al-Hikam Malang<br />http://korananakindonesia.wordpress.com/2010/02/06/nasiruddin-al-tusi-saintis, diakses pada pukul 13.44. di Perpustakaan Al-Hikam Malang<br />http://tekim.undip.ac.id/staf/istadi/2009/04/nasiruddin-al-tusi-saintis-agung, diakses pada pukul 13.42. di Perpustakaan Al-Hikam Malang<br />Mustofa, A, Filsafat Islam, (Bandung: Pusaka Setia, 1997).<br /><br /></div>El_zubadyhttp://www.blogger.com/profile/10020201426802177871noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1276832008122978688.post-14773919450228440002010-10-14T23:45:00.000-07:002010-10-15T06:05:07.769-07:00الإضطرار لايبطل حق الغير اذااجتمع الحلال والحرام غلب الحرام<div style="text-align: justify;">الإضطرار لايبطل حق الغير<br />اذااجتمع الحلال والحرام غلب الحرام<br />Oleh: Rosyidi<br />Dosen Pembimbing: Ust. H. Zainu Zuhdi, Lc. M.Hi.<br />I. PENDAHULUAN<br /><br />Kaidah fikih merupakan ilmu yang sangat urgen, mengingat nash-nash al-Quran dan al-Hadist hanya menguraikan secara global, sementara problematika kehidupan yang kita hadapi makin kompleks khususnya Negara Indonesia, sehingga diperlukan suatu metode dalam menggali dari kedua sember tersebut.<br />Para ushuliyin (ulama ushul fikih) kemudian menggali hukum dari al-Quran dan al-Hadist, mereka memerlukan salah satu metode yaitu kaidah-kaidah untuk memformulasikannya, kaidah ini menjadi salah satu aset berharga dalam peradaban Islam khususnya dibidang yurisprudens yang berfungsi sebagai solusi dalam problem kehidupan yang makin hari makin krusial, baik individu maupun kolektif. Ini sebagai bukti betapa para cendekiawan muslim sangat peduli terhadap khasanah keilmuan.<br />Dalam kehidupan kita ini, tidak lepas yang namanya problem baik internal maupun eksternal, kedua problem apabila kita tidak menyikapinya dengan penuh kearifan akan menimbulkan mafsadat (kerusakan) lebih besar, sedangkan agama Islam melarang hal itu. Oleh karena itu penulis berupaya menjelaskan dalam makalah ini, pertama:لايبطل حق العير الإضطرار kaidah ini adalah sebagai landasan yang mengedepankan keseimbangan antara hak dan kewajiban sebagai zoon politican (makhluk sosial). yang selalu berinterksi dengan alam sekitar. , kedua: اذاجتمع الحلال والحرام غلب الحرام kaidah ini juga sebagai solusi yang mengedepankan ihthiyat (kehati-hatian) ketika kita dihadapkan dengan suatu hukum paradoks, sehingga kita mendapatkan kebahagiakan di dunia dan akhirat.<br />”Jika terbiasa menantang maut apa artinya menyebrangi tanah berlumpur”, begitulah pepatah mengatakan. Penulis sadar makalah ini penuh dengan kekurangan, maka kritik, saran yang membangun dari teman-teman kami harapkan, demi perbaikan makalah-makalah berikutnya.<br /><a name='more'></a><br />II. PEMBAHASAN<br />a) Kaidah Pertama<br />الإضطرار لايبطل حق الغير<br />“Kondisi Terpaksa Tidak Membatalkan Hak Orang Lain”<br />b) Landasan Kaidah<br />Kaidah ini tidak serta merta muncul tanpa pijakan, para ulama menelurkan kaidah ini berlandaskan pada al-Quran maupun al-Hadist.<br />1) Al-Quran<br />وقد فصل لكم ما حرم عليكم الامااضررتم اليه (الأنعام : الآية 119)<br />Artinya:”Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (Surat al-An’am (6) ayat 119)<br />2) Al-Hadist<br />لاضرر و لاضرر<br />Artinya: “Jangan membuat madlarat (bahaya) pada diri sendiri dan pada orang lain”.<br /><br />c) Makna Kaidah<br />Sebelum menjelaskan arti dan maksud dari kandungan kaidah ini, penulis akan menjelaskan masing-masing lafadz, idhtirar, batal, dan haq terlebih dahulu agar bisa dipahami secara jelas dan komperehensif.<br />1. Idhtirar, adalah derivasi (asal kata) menurut sebagian ulama gramatika, isim fa’il-nya (subjek) adalah mudhtarrun, yaitu orang yang terbebani sesuatu (mukalaf) sehingga terpaksa untuk melakukan hal-hal yang dilarang oleh syara’, artinya orang yang khawatir kerusakan atau kerugian. Sedangkan dalam tafsir kamus al-Munawir idhtirar ialah شداللزوم (keperluan yang amat mendesak), dari kedua pengertian di atas, penulis dapat mengambil benang merah bahwa idhtirar ialah keperluan yang mendesak yang berakibat merugikan dan membahayakan jiwa, maka itu harus dicegah walaupun harus melakukan hal-hal yang dilarang syara’.<br />2. Batal ialah sinonim dari lafadz fasid artinya sesuatu perkara yang tidak dianggap sukses dan sah.<br />3. Haq menurut etimologi adalah ketetapan yang tidak boleh diingkari, adapun menurut terminologi ahli bahasa, ialah hukum yang sesuai dengan kenyataan secara mutlak baik ucapan, akidah, agama, maupun madzhab (sekte) dengan sudut pandang cakupannya.<br /><br />Kaidah ini berkaitan erat dengan penjelasan kaidah الضرورات تبيح المحظورات (situasi mendesak memperbolehkan perkara yang dilarang), oleh karena itu kondisi terpaksa bisa merubah hukum haram menjadi hukum ibahah (boleh), misalnya diperbolehkan makan bangkai. Tapi seperti mengucapkan kalimat kufur menjadi hukum rukhsah (dispensasi), tetapi hukum hukum haramnya masih tetap, terkecuali pada kondisi yang tidak bisa membatalkan hak orang lain, karena satu sisi mencegah dharurat dengan dharurat pada sisi yang lain itu tidak boleh. <br />d) Contoh-contoh kaidah :<br />1) orang yang terpaksa memakan makanan orang lain, itu harus mengganti makanan tersebut baik dengan berbentuk uang maupun jenis makanan yang terpaksa apabila kondisi itu telah pulih kembali,<br />2) apabila tetangga kita mempunyai hewan peliharaan seperti sapi, kemudian sapi tersebut menyerang kita, maka kita boleh membunuhnya tapi wajib mengganti. <br />3) apabila kita menyewa sawah untuk ditanam padi jangka waktu satu tahun, masa sewa telah berakhir sedangkan masa panennya belum tiba, dengan kondisi tersebut memaksa kita untuk tetap terus menunggu sampai padi layak panen, maka itu tidak membatalkan hak pemilik tanah untuk mendapatkan uang ganti rugi sisa sewa dari kita yang sudah habis masa sewanya<br />4) kita mengendarai sepeda motor dengan laju kecepatan yang tinggi, tiba-tiba di depan ada mobil dan di pinggir ada kambing, apabila kita terus ke depan kita akan tewas, tetapi apabila kita ke pinggir kita selamat, tetapi menabrak kambing, maka kita harus mengganti kambing tersebut kepada pemiliknya, <br /><br />e) Hikmah dari Kaidah<br />Islam adalah agama universal yang mengajarkan keadilan bagi semua manusia tanpa pandang bulu, Ajaran Islam mengandung unsur-unsur keyakinan (aqidah), ritual (ibadah), dan pergaulan sosial (mu’amalat),. Seluruh unsur-unsur ajaran tersebut dilandasi dengan istilah syari’at (fikih) dalam konteks inilah terdapat ajaran hak dan kewajiban, apabila kedua itu berjalan seimbang maka tidak mustahil dalam kehidupan ini damai dan sejahtera.<br /><br /><br />a) Kaidah Kedua<br />اذااجتمع الحلال والحرام غلب الحرام<br />“Apabila Halal dan Haram berkumpul, Maka dimenangkan yang Haram”<br /><br />b) Landasan Kaidah<br />1. Al-Hadist<br />عَنْ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ « الْحَلاَلُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ ، وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، فَمَنِ اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِيِنِهِ وَعِرْضِهِ ، وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ كَرَاعٍ يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى ، يُوشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ . أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى ، أَلاَ إِنَّ حِمَى اللَّهِ فِى أَرْضِهِ مَحَارِمُهُ ، أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ (رواه البخاري)<br />مَا اجْتَمَعَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ إلَّا غَلَبَ الْحَرَامُ الْحَلَال<br />2. Al-Atsar Sahabat<br />Ketika sahabat Utsman r.a. ditanya tentang poligami antara budak perempuan yang bersaudara (milk al-yamin), ia berkata:” Satu ayat membolehkan mempoligami keduanya sedangkan ayat lain mengharamkannya, namun hukum haram yang aku lebih suka”.<br /><br />c. Makna Kaidah<br />Seperti hal di atas, sebelum penulis menjelaskan makna dari kaidah ini, penulis akan menjelaskan dahulu halal dan haram terlebih dahulu.<br />1. Halal, ialah segala sesuatu yang tidak akan disiksa apabila melakukan/menggunakannya. <br />2. Haram ialah perkara yang apabila ditinggalkan mendapat pahala, dan disiksa apabila dikerjakan. <br />Kaidah ini walaupun berlandaskan hadist yang diduga lemah, seperti yang penulis jelaskan pada catatan kaki. Tapi menurut qaul ashah, apa bila ada dua dalil yang saling bertentangan,satu memutuskan haram sedangkan yang lain memutuskan boleh, maka didahulukan yang haram karena ihthiyyat (kehati-hatian). Sebagai mana kita ketahui segala sesuatu yang haram atau dilarang agama itu adalah mafsadat oleh karena itu kaidah ini berkaitan erat dengan درأ المفاسد مقدم على جلب المصالح (menolak keharusan didahulukan dari pada meraih kemaslahatan).<br />d. Contoh Kaidah<br />1) Curanmor pada media masa selalu hangat diberitakan, misalnya daerah X sangat terkenal banyak motor illegal, selundupan, dll. Apabila kita membeli motor dari daerah tersebut yang jelas motor tersebut tidak lengkap (resmi), maka tidak boleh (haram) membelinya, demi kehati-hatian.<br />2) Manipulasi seperti para calon membagi-bagi uang (syubhat) yang tidak sedikit kepada calon pemilih dalam pemilu seperti: pemilihan anggota legeslatif, capres, pilkada, dll, perbuatan tersebut dengan tujuan memperoleh kemenangan. Maka kita haram memilih para calon tersebut, dengan kata lain harus GOLPUT, alasanya memilih pemimpin dipertanggungjawabkan dihadapan Allah swt. <br />e. Hikmah dari Kaidah<br />Segala sesuatu yang ada didunia ini pada dasarnya diperbolehkan, firman Allah swt. Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu. (Surat al-Baqarah ayat 29), kecuali sesuatu yang dilarang tapi itu jumlahnya sangat sedikit. Prinsif pokok dalam lapangan sosial (relasi horizontal) adalah boleh sepanjang ada dalil yang mengharamkan, dan prinsif dalam lapangan ritual (relasi pertikal) adalah haram, sepanjang tidak ada dalil mewajibkan. Dengan penjelasan tersebut, jelas Islam senantiasa mengutamakan kehati-hatian dalam kehidupan didunia yang serba instan, sehingga menjapai kebahagiaan didunia dan diakhirat.amien. <br /><br />III. SIMPULAN<br />Dari uraian singkat dari kedua kaidah ini, penulis akan menyimpulkan, kaidah pertama bahwa:<br />1. idhtirar (kondisi terpaksa) yang berakibat patal dan berbahaya pada jiwa apabila dibiarkan, maka hal itu harus dihindari dan dicegah demi keselamatan,<br />2. apabila antisipasi tersebut terpaksa mengambil hak orang lain, itu tidak bearti bebas dari tanggungan, tapi harus mengganti kerugiannya, sebab Islam mengajarkan keseimbangan antara hak dan kewajiban.<br />kaidah kedua bahwa:<br />1. kehidupan ini tidak akan lepas dari aturan Allah swt., seperti larangan, kewajiban, mubah, dll. Akan tetapi kadang kehidupan ini dihadapkan dua hukum yang paradoks. Seperti hukum haram dan halal yang bertentangan,<br />2. para ulama membuat solusi apabila menghadapi hal tersebut, solusinya yaitu menangkan yang haram, dendan alasan ihtiyyat (hati-hati).<br /><br /><br /><br />Daftar Rujukan<br /><br />Al-Bukhari, Shidiq bin Hasan. 1992. Fath al-Bayan fi Maqashid al-Quran. Beirut: Al-Maktabah al-Ashriyyah.<br />Al-Haromain,Juwaini. t.t. Al-Dimyati ‘Ala Syarh al-Waraqat. Surabaya: Al-Hidayah.<br />Al-Jurjani, Ali bin Muhammad. 1988 Al-Ta’rifat. Beirut: Dar-al-Kutub al-Ilmiah.<br />Al-Rahman, Abd. Jalaluddin bin abd al-Rahman al-Suyuti. 1960. Al-Asybah Wa al-Nadzair Fi al-Furu’. Surabaya: Daru Ihya al-Kutub al-Arabi.<br />Hakim, Abd Hamid. t.t. Mabadi Awaliyah. Jakarta: Sa’adah Putra.<br />Shidqi, Muhammad bin Ahamd al-Burino. 1983.Al-Wajiz Fi Idhah Qawaid al-Fiqh al-Kuliyah. Beirut: Muassasah al-Risalah.<br /><br /></div>El_zubadyhttp://www.blogger.com/profile/10020201426802177871noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1276832008122978688.post-17100911645615369482010-10-14T23:41:00.001-07:002010-10-15T23:17:38.251-07:00المعلق بالشرط يجب ثبوته عندثبوت الشرط كل شرط يخالف أصول الشريعة باطلالمعلق بالشرط يجب ثبوته عندثبوت الشرط <br />كل شرط يخالف أصول الشريعة باطل<br />Oleh: Rosidi<br />Dosen pembimbing: Ust. H. Zainu Zuhdi, Lc. M.Hi<br />.<br />I. PENDAHULUAN<br />Perubahan sosial sejalan dengan perkembangan teknologi dan sistem ekonomi serta kemajuan aspek-aspek kehidupan lainnya yang menuntut suatu panduan agama yang memiliki relevansi dengan perjalanan hidup manusia. Kehidupan manusia dengan perubahan yang begitu cepat dengan perkembangan seperti di atas itu tidak lepas dari problem-problem yang ditimbulkan dari gejala itu. Dengan perkembangan yang begitu signifikan membuat kebanyakan manusia sulit untuk mengimbanginya, dalam artian manusia untuk memenuhi kebutuhannnya dengan mengalalkan segala cara, karena lepas dari panduan agama. Seperti halnya dalam masalah syarat-syarat mu’amalah yang tidak sesuai dengan prinsip syari’at dan masalah sosial masyarakat yang mengharuskan adanya syarat, namun pada prakteknya syarat itu diabaikan. Contoh-contoh akan kami jelaskan pada pembahasan nanti. <a name='more'></a><br />Para ushuliyin (ulama ushul fikih) kemudian menggali hukum dari al-Quran dan al-Hadist, mereka memerlukan salah satu metode yaitu kaidah-kaidah untuk memformulasikannya, kaidah ini menjadi salah satu aset berharga dalam peradaban Islam khususnya dibidang yurisprudens yang berfungsi sebagai solusi dalam problem kehidupan yang makin hari makin krusial, baik individu maupun kolektif. Ini sebagai bukti betapa para cendekiawan muslim sangat peduli terhadap khasanah keilmuan.<br />Dalam makalah ini, penulis berupaya menejelaskan dua kaidah fikih (legal maxim) di atas sebagai landasan kehidupan sosial kita, agar tidak melenceng dari aturan-aturan yang telah diajarkan oleh Rasulullah. <br /><br /><br />II. PEMBAHASAN<br />2.1. Kaidah Pertama<br />المعلق بالشرط يجب ثبوته عندثبوت الشرط <br />“Sesuatu yang bergantung pada suatu syarat, wajib adanya ketika sesuai dengan adanya Syarat”<br />2.2. 1. Landasan Kaidah<br />وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُسْلِمُونَ عِنْدَقال النبي صلى الله عليه و سلم المسلمون عند شروطهم <br />Artinya: “ Rasulullah saw. Bersabda bahwa orang-orang Islam tergantung dengan syarat-syarat mereka” (H.R Bukhari)<br /> <br />Dapat diartikan dari hadits tersebut ialah jika di antara orang-orang Islam yang sedang mengadakan perjanjian dengan syarat-syarat yang tidak bertentangan dengan nash atau prinsip-prinsip syari’ah, maka dianggap cukup dan sah. <br />2.1.2. Makna Kaidah<br /> Sebelum melangkah pada penjelasan kaidah ini, penulis akan menjelaskan syarat dahulu. Syarat menurut etimologi adalah tanda atau simbol, sedangkan syarat menurut terminologi ulama ushul dan fuqaha adalah apa yang bisa melegalkan sesuatu, tetapi bukan dari unsur sesuatu tersebut. Atau perkara luar bukan unsur dari ibadah yang bisa melegalkan ibadah dengan adanya perkara tersebut, namun adanya perkara tersebut tidak harus adanya ibadah. Contoh seperti shalat bisa sah salah satunya dengan berwudhu yang wudhu sendiri bukan unsur dari shalat, namun ada wudhu tidak diharuskan melaksanakan shalat.<br />Sedangkan syarat terbagi menjadi dua, pertama, syarat syari’ yaitu syarat yang bersumber dari Allah seperti ahli atau mampu untuk patuh terhadap aturan jual beli dan tidak ada unsur riba. Kedua, syarat ja’li yaitu syarat yang berasal dari kehendak seorang pelaku, karena orang yang akad (mengadakan perjanjian) telah membuat perjanjian yang digantungkan dengan syarat. Tetapi syarat dinyatakan batal apabila mustahil terjadi dalam sebuah perjanjian, seperti halnya jika orang yang berhutang hidup maka saya akan menaggung hutangnya, sedangkan orang yang berhutang sudah meninggal. <br />Arti dari kaidah di atas adalah bahwa sesuatu yang digantungkan terhadap syarat tidak legal atau sah sebelum syarat itu terwujud, dan sesuatu dinyatakan sah dan bisa terlaksana ketika syarat itu ada. <br />2.1.3. Contoh dan Aplikasi Kaidah2<br />1. Jika salah satu syarat wajib melaksanakan haji atau umrah adalah adanya kemampuan (istitha’ah), maka ketika seseorang telah mampu maka wajib baginya melaksanakan kedua ibadah tersebut.<br />2. Seseorang memesan barang dengan syarat akadnya batal apabila pesananya tidak selesai dalam satu waktu satu bulan. Maka sebelum habis waktu satu bulan, maka si pemesan tidak bisa menuntut pembatalan akad pesanan barang tadi. <br />2.2. Kaidah kedua<br />كل شرط يخالف اصول الشريعة فهو باطل<br />“Setiap syarat yang menyalahi prinsip syariah adalah batal”<br />2.2.1. Landasan Kaidah<br />a) Al-Quran<br /> <br /> dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki[282] (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian… (Q.S. al-Nisa: 24)<br /><br />b) Al-Hadits<br />فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( ما بال رجال يشترطون شروطا ليست في كتاب الله من اشترط شرطا ليس في كتاب الله فهو باطل شرط القام رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال ( ما بال رجال يشترطون شروطا ليست في كتاب الله من اشترط شرطا ليس في كتاب الله فهو باطل شرط الله أحق وأثق ) <br /><br />Artinya: “Rasulullah saw. bersabda apa saja yang dikehendaki orang-orang yang membuat syarat (perjanjian) yang tidak sesuai dengan kitab Allah (al-Quran, sedangkan barang siapa yang membuat syarat (perjanjian) yang tidak sesuai dengan kitab Allah (al-Quran), maka syarat itu batal, syarat Allah itu lebih berhak dan terpercaya dan kokoh. (H.R. Bukhari) <br />Dari hadits tersebut dapat dipahami dengan menyetir perkataan Ibnu Amr yaitu setiap syarat yang tidak sesuai dengan hukum Allah dan keputusan-Nya atau sunah Nabi-Nya, maka syarat tersebut batal. Sesuai dengan firman Allah SWT. dalam al-Quran surat al-Nisa ayat 24 ditafsirkan dengan hukum Allah swt. Bagi kamu sekalian dan keputusan-Nya di atas kamu sekalian. <br />2.2.2. Makna Kaidah<br />Kaidah ini menunjukan bahwa setiap syarat atau perjanjian harus sesuai dengan koridor yang ditentukan oleh kitab Allah (al-Quran) maupun sunah Nabi-Nya, karena keputusan dan ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang bisa membawa umat manusia ke dalam yang benar. Karena apabila syarat-syarat yang tidak dengan sesuai dengan sumber sumber Islam (al-Quran dan al-Hadits), maka tatanan kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik akan kacau.<br />2.2.3. Contoh dan Aplikasi Kaidah <br />a. Jika sesorang istri sudah ditalak tiga kali oleh suaminya, maka seorang wanita tersebut tidak boleh menikah dengan mantan suaminya sebelum ada muhalil (orang laki-laki yang mengawini wanita yang ditalak tiga agar suami pertama dapat mengawini lagi). Sedangkan wanita tersebut mensyaratkan kepada muhalil untuk mentalaknya setelah bersenggema, karena untuk menikah dengan suami pertamanya. Maka syarat tersebut batal karena bertentangan dengan syara’ yang merupakan nikah adalah adalah suatu ibadah yang tidak boleh dipermainkan.<br />b. Dalam kehidupan sosial tentu tidak lepas dengan kebutuhan ekonomi yang makin hari tidak menentu khususnya bangsa Indonesia, contohnya sesorang harus menghutang kepada si kaya untuk memenuhi kebutuhannya seperti makan dan biaya pendidikan anaknya, maka si kaya memberi hutang kepada bersyarat kepada peghutang dengan membayar lebih, maka syarat tersebut batal karena hukumnya riba dan tidak sesuai dengan tuntutan syariah. <br />III. Simpulan<br />Setelah kami uraikan kaidah dua di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap sesuatu syarat atau perjanjian harus jelas dan harus sesuai dengan tuntunan dua sumber yakni al-Quran dan al-Hadits. Kaidah pertama menejelaskan hal-hal yang yang berkaitan dengan dua seorang yang sedang mengadakan akad dengan syarat yang jelas dan kedua belah pihak harus saling setuju dengan syarat yang telah disepakati.<br />Kaidah kedua menjelaskan setiap syarat harus sesuai dengan tuntunan al-Quran dan al-hadits, maka apabila syarat tersebut tidak sesuai maka statusnya batal, dengan artian kaidah ini memperkuat kaidah pertama.<br />Daftar Rujukan<br />Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il abu Abdillah, 1987, Al-Jami’ Ashahih: Shahih Bukhari, Beirut: Dar Ibn Katsir, Juz 2.<br />Al-Istidzkar Halaman juz 2 halaman 270, Maktabah Syamileh http://www.islamway.com<br /><br />Al-Zarqa, Ahmad bin Muhammad, 1996, Syarah al-Qawaid al-Fiqhiyyah. Beirut: Dar al-Qalam,<br />Djazuli, A. 2007, Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana.<br />Hakim, Abd Hamid, t.t, Mabadi Awaliyah, Jakarta: Sa’adah PutraEl_zubadyhttp://www.blogger.com/profile/10020201426802177871noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1276832008122978688.post-49766588962529523842010-10-14T23:35:00.000-07:002010-10-15T01:23:55.246-07:00Sejarah Hadits Prakodifikasi;Pada Masa Nabi Saw., Pada masa Sahabat dan Tabi’inSejarah Hadits Prakodifikasi;Pada Masa Nabi Saw., Pada masa Sahabat dan Tabi’in<br />Oleh: Rosyidi<br />Dosen Pembimbing: Ust. Drs. Damanhuri, M.A<br />BAB I<br />PENDAHULUAN<br />Apabila kita menggunakan kata sejarah, kita secara naluri berfikir masa lampau, ini adalah sebuah kekeliruan. Sebab sejarah sebenarnya adalah sebuah jembatan yang menghubungkan masa lampau dan masa kini dan sekaligus menunjukan arah masa depan.<br />Hadist adalah salah satu pedoman hidup umat islam dimana kedudukan hadits disini adalah sebagai sumber hukum islam yang ke-2 setelah al-Quran. Didalam ilmu hadits pun terdapat pula sejarah dan perkembangan hadits pada masa prakodifikasi. Mudah-mudahan dengan mengetahui sejarah prakodifikasi hadits kita menjadi bijak dan arif dalam menghadapi zaman yang serba instan dan bisa membawa misi islam Rahmatan lil’alamin.<br />Tiada gading yang tak retak, begitulah pepatah mengatakan. Kami sadar bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan dalam penyusunan makalah-makalah selanjutnya.<br />BAB II<br />PEMBAHASAN<br />1)Hadist pada Masa Rasulullah SAW<br />Membicarakan hadits pada masa Rasul SAW berarti membicarakan hadits pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan terkait langsung dengan pribadi Rasul sebagai sumber hadits.<br />Rasul membina umatnya selama 23 tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus diwurudkannya hadist. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran islam. Untuk lebih memahami kondisi/ keadaan hadist pada zaman Nabi SAW berikut ini penulis akan diuraikan beberapa hal yang berkaitan:<br />Cara Rasulullah menyampaikan hadist<br />Rasulullah dan para sahabat hidup bersama tanpa penghalang apapun, mereka selalu berkumpul untuk belajar kepada Nabi Saw. di masjid, pasar, rumah,dalam perjalanan dan di majelis ta’lim. Ucapan dan perilaku beliau selalu direkam dan dijadikan uswah (suri tauladan) bagi para sahabat dalam urusan agama dan dunia. Selain para sahabat yang tidak berkumpul dalam majelis Nabi Saw. untuk memperoleh patuah-patuah Rosulullah, karena tempat tingal mereka berjauhan, ada di kota dan di desa begitu juga profesi mereka berbeda, sebagai pedagang, buruh dll. Kecuali mereka berkumpul bersama Nabi Saw. pada saat-saat tertentu seperti hari jumat dan hari raya. Cara rasulullah menyampaikan tausiahnya kepada sahabat kemudian sahabat menyampaikan tausiah tersebut kepada sahabat lain yang tidak bisa hadir (ikhadz)<br />Keadaan para sahabat dalam meneriama dan menguasai hadist<br />Kebiasaan para sahabat dalam menerima hadits bertanya langsung kepada Nabi Saw. dalam problematika yang dihadapi oleh mereka, Seperti masalah hukum syara’ dan teologi. Diriwayatkan oleh imam Bukhari dalam kitabnya dari ‘Uqbah bin al-Harits tentang masalah pernikahan satu saudara karena radla’ (sepersusuan). Tapi perlu diketahui, tidak selamanya para sahabat bertanya langsung. Apa bila masalah biologis dan rumah tangga, mereka bertanya kepada istri-istri beliau melalui utusan istri mereka, seperti masalah suami mencium istrinya dalam keadaan puasa.<!— more --><br />Telah kita ketahui, bahwa kebanyakan sahabat untuk menguasai hadist Nabi Saw., melalui hafalan tidak melalui tulisan, karena difokuskan untuk mengumpulkan al-Quran dan dikhawatirkan apabila hadist ditulis maka timbul kesamaran dengan al-Quran.<br />Aktifitas menulis hadist<br />Bahwasanya sebagian sahabat telah menulis hadist pada masa Rosulullah, ada yang mendapatkan izin khusus dari Nabi Saw.,hanya saja kebanyakan dari mereka yang senang dan kompeten menulis hadist menjelang akhir kehidupan Rosulullah. <br />Keadaan Sunnah pada masa Nabi SAW belum ditulis (dibukukan) secara resmi, walaupun ada beberapa sahabat yang menulisnya. Hal ini dikarenakan ada larangan penulisan hadist dari Nabi Saw. penulis akan mengutip satu hadist hadist yang lebih shahih dari hadist tentang larangan menulis.<br />Rasulullah Saw. bersabda:<br /><br />لاتكتبو اعنّى شيئا غير القران فمن كتب عنىّ شيئا غير القر ان فليمحه.<br />” jangan menulis apa-apa selain Al-Qur’an dari saya, barang siapa yang menulis dari saya selain Al-Qur’an hendaklah menghapusnya”. (HR. Muslim dari Abu Sa;id Al-Khudry)<br /><br />Tetapi disamping ada hadist yang melarang penulisan ada juga hadist yang membolehkan penulisan hadist, hadist yang diceritakan oleh Abdullah bin Amr, Nabi Saw. bersabda:<br /><br />اكتب فو الذى نفسى بيده ما خرج منه الاالحق.<br />” tulislah!, demi Dzat yang diriku didalam kekuasaan-Nya, tidak keluar dariku kecuali yang hak”.(Sunan al-Darimi)<br /><br />Dua hadist diatas tampaknya bertentangan, maka para ulama mengkompromikannya sebagai berikut:<br />• Bahwa larangan menulis hadist itu terjadi pada awal-awal Islam untuk memelihara agar hadist tidak tercampur dengan al-Quran. Tetapi setelah itu jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal Al-Quran, maka hukum larangan menulisnya telah dinaskhkan dengan perintah yang membolehkannya.<br />• Bahwa larangan menulis hadist itu bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus bagi orang yang memiliki keahlian tulis menulis. Hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya, dan tidak akan dikhawatirkan salah seperti Abdullah bin Amr bin Ash.<br />• Bahwa larangan menulis hadist ditujukan pada orang yang kuat hafalannya dari pada menulis, sedangkan perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tidak kuat hafalannya.<br />2) Hadist Pada Masa Sahabat Dan Tabi’in<br />A.Hadist pada masa sahabat<br />Periode kedua sejarah perkembangan hadist, adalah periode setelah wafatnya Rasulullah Saw., yang biasa kita kenal dengan masa sahabat, khususnya masa Khulafa Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Usman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib) yang berlangsung sekitar 11 H. sampai 40 H, masa ini juga disebut dengan sahabat besar.<br />Sahabat dan Periwayatan Hadist<br />Pada masa menjelang kerasulannya, Rasul SAW berpesan kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadist serta mengerjakannya kepada orang lain sebagai mana sabdanya:<br /><br />عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم- قَالَ « تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّه<br /><br />”Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan tersesat setelah berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnahku ” (H.R Malik).<br /><br />Perlu diketahui oleh kita, walaupun ini bukan pembahasan dalam makalah ini, tapi untuk sekedar informasi untuk teman-teman bahwa hadist ada dua jalan sahabat dalam meriwayatkan hadist dari Rasul saw.<br />• Abu Bakar<br />Imam Hakim meriwayatkan dari Qasim bin Muhammad dari siti ‘Aisyah ra., ia berkata:” Ayahku telah mengumpulkan hadist dari Nabi Saw. sejumlah lima ratus hadist, setiap malam ia mengulang-ulang beberapa kali…, setelah itu ia membakarnya. <br />• Umar bin khatab<br />Umar bin Khatab ra. Pernah ingin mengumpulkan dan menulis hadist, beliau bermusyawarah dengan para sahabat Rasul lainya dan mereka menyetujui ide tersebut. Kemudian Umar beristikharah selama sebulan. Namun, rupanya Allah belum menghendaki. Kemudian ia berkata:” Aku ingin menulis sunnah, setelah itu aku ingat kaum sebelum kamu sekalian menulis kitab, mereka memfokuskan pada tulisan itu, kemudian ia meninggalkan kitab Allah. Demi Allah sesungguhnya aku tidak akan mencampur kkitab Allah (al-Quran) dengan yang lain selamanaya. <br />Masih banyak sahabat-sahabat lain yang bersikap penuh kehati-hatian, diantaranya Ustman bin ‘Affan, Ali bin Abu Thalib, abu Musa dll, penulis tidak akan menjelaskan itu semua dalam makalah yang singat ini.<br />B. Hadits pada masa tabi’in<br />Tabi’in telah belajar kepada para sahabat, sehingga ia banyak mengetahui hadist Rasulullah dari para guru-guru mereka (sahabat), disamping itu mereka mengetahui para sahabat tentang keengganan menulis hadist dan sahabat memperbolehkannya, sehingga karakter tersebut diwariskan kepada para tabi’in besar, sehingga masa ini belum ada hadist yang terkodifikasikan.<br />BAB III<br />SIMPULAN<br /><br />Sejarah hadist pra kodifikasi terbagi menjadi beberapa bagian, untuk lebih mudah memahaminya, berikut uraiannya.<br />I. Hadist Pada Masa Rasul SAW<br />Dalam masa ini ada beberapa hal penting yang berkaitan dengan masa itu:<br />• Cara rasul menyampaikan hadist, melalui jamaah pada majlis-majlis, ceramah dan pidato di tempat-tempat terbuka seperti pasar, dan lain-lain.<br />• Pemeliharaan hadist melalui hafalan dan tulisan.<br /><br />II. Hadist Pada Masa Sahabat<br />Kehati-hatian para sahabat dalam hal pembukuan hadist dan pada masa itu belum ada pembukuan secara resmi, dikarenakan beberapa hal yang diantaranya adalah :<br />• Agar tidak memalingkan perhatian umat Islam dalam mempelajari Al-Qur’an.<br />• Para sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam.<br />• Soal membukukan hadist, dikalangan sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat.<br /><br />III. Hadist pada masa tabi’in <br />Pada masa ini juga kejadianya seperti pada masa sahabat, sehingga blum ada hadist yang terkodifikasi.<br /><br />Daftar Rujukan<br /><br />Imam Malik. Muatha. Maktabah Syamilah. Vol 2 hlm. 900.<br />Syuhbah M.M Abu Syuhbah. 1999.Kutubus Sittah.Terjemahan oleh Ahmad Usman. Surabaya: Pustaka Progressif.<br />Muhammad Ajjaj al-Khatib. 1998. Al-Sunnah Qabla al-Tadwin. Kairo: Maktabah wahbah.<br />Mushtafa as-Suba’i. 2003 Assunnah. Kairo: Dar-Assalam.<br />Mana’ al-Qathan. 1989. Tarikh al-Tasyri’ al-Islami. Kairo: Maktabah Wahbah.<br />Subhi al-Shalih. 1997.Ulum al-hadist wa Mushtalahuhu. Beirut: Dar al-Ilmi Li al-malayin.El_zubadyhttp://www.blogger.com/profile/10020201426802177871noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1276832008122978688.post-35658689126069628472010-10-13T23:34:00.000-07:002010-10-14T23:13:36.701-07:00FAJAR KEBANGUNAN ULAMA Biografi K.H. Hasyim Asy’ari<div style="text-align: justify;"><span style="color: rgb(0, 0, 102);">RESENSI BUKU </span><br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);">Oleh: Rosidi</span><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);">Dosen Pembimbing: Dr. Arif Zamhari, Ph.D.</span><br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);">DATA BUKU</span><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);">Judul : FAJAR KEBANGUNAN ULAMA Biografi K.H. Hasyim</span><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);">Asy’ari</span><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);">Penulis : Drs. Lathiful Khuluq, M.A.</span><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);">Bahasa : Indonesia</span><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);">Penerbit : LKiS, Yogyakarta (2000)</span><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);">Cetakan : I Januari 2000</span><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);">Tebal : 150 halaman</span><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);">ISBN : 979-8966-37-6</span> <br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);">Dalam buku ini, Luthiful Khuluq mencoba menawarkan kajian pemikiran agama dan aktifitas politik KH. Hasyim Asy’ari (1871-1947), pendiri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dan Nahdhatul Ulama yang cukup komprehensif mengenai biografinya. Buku biografi ini membahas kehidupan, latar belakang pendidikan dan lingkungan pesantren KH. Hasyim Asy’ari untuk memahami karir dan kejadian-kejadian yang mengilhami beliau. Sebagaimana yang terdapat dalam bab satu, kombinasi kesempatan yang disediakan oleh keluarganya serta kerajinan dan kecerdasanya, K.H. Hasyim Asy’ari dapat memperoleh kesuksesan.</span><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);">Di dalam riset untuk penulisan tesis ini, Luthiful Khuluq menggunakan data-data yang bersumber antara lain:</span><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);">1. Bahasa Indonesia, seperti buku Biografi 5 Rais ‘Am Nahdhatul Ulama (1995), Kemelut NU, antara Kiai dan Politisi (1982), Perang di Jalan Allah (1987) dan lain-lain.</span><a name='more'></a><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);">2. Bahasa Inggris, seperti buku Dutch Politik Against Islam and Indinesian of Arab Desent in Indonesia (1994), Java in Times of Revolution, Occupation and Resistance 1944-196 (1972), Indonesia’s Elite, Modern Islamic Political Thought (1982) dan lain-lain.</span><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);">3. Bahasa Arab, seperti Ihya’’ama’il al-fudhala’fi trajamat al-qonun al-asasi li al-jam’iyat al-nahdat al-ulama (1968), Al-Mawaa’izh Sjaich Hasjim Asj’ari (1959), Ziyadat ta’liqat ‘ala manzumat al-Shaikh’Abd, b. Yasin al-Fasuruwani (1995) dan lain-lain.</span><br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);"> Sumber-sumber buku di atas telah memberikan informasi, bahwa buku ini sudah cukup lengkap dan objektif, karena buku-buku sebagai sumber buku ini ditulis oleh orang-orang NU sendiri, Muhammadiyah dan peneliti dari Barat, sehingga layak dibaca khususnya kalangan NU, mahasiswa maupun masyarkat umum.</span><br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);">Pada bagian awal Khuluq menyampaikan, bahwa buku dari hasil tesis ini tidak mungkin selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak, baik kepada pembimbing penulisan tesis, Dr. Howard M. Faderspiel, beberapa lembaga dan teman-temannya, terutama kepada pihak keluarga KH. Hasyim Asy’ari sehingga buku ini benar-benar objektif.</span><br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);">Sebagai ilustrasi pada halaman 12, khuluq menyatakan tentang sketsa biografi KH. Hasyim Asy’ari, bahwa kehidupan beliau mungkin dapat digambarkan dengan kata-kata sederhana,”Dari pesantren kembali ke pesantren”. Artinya Hadhratussyaikh Hasyim Asy’ari dibesarkan di lingkungan pesantren. Kemudian beliau melaksanakan ibadah haji dan belajar di lingkungan seperti pesantren yaitu Masjid al-Haram dan Masjid al-Nabawi selama tujuh tahun (masing-masing di Mekah dan Madinah). Beliau kembali ke Nusantara untuk mendirikan pesantren sendiri dan menghabiskan sebagian waktunya mengajar para santri di pesantren. KH. Hasyim bahkan mengatur “kegiatan-kegiatan politik’ dari pesantren. Dalam penjelasan Khuluq tadi mengingatkan kita, bahwa kesungguhan, kegigihan dan perjuangan Hadhratussyaikh Hasyim Asy’ari patut kita teladani.</span><br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);">Dalam buku ini menjelaskan, kemampuan keilmuan dan intelektual Hadhratussyaikh Hasyim Asy’ari yang merupakan hasil dari belajar keras selama waktu yang tidak pendek. Hal ini menyebabkan beliau dihargai banyak ulama dan pejabat dan politikus. Pada usia muda, Mbah Hasyim (panggilan seorang tokoh) belajar berbagai disiplin ilmu kepada para kiai di berbagai pesantren, mulai dari nahwu, sharaf, balaghah, tafsif, hadits, aqidah, tasawuf dan lain sebagainya, sebelum melanjutakan studi di tanah Hijaz. Setelah belajar di tanah air, beliau belajar ke tanah Haromain (mekah dan Madinah) di bawah bimbingan beberapa ulama terkenal baik yang berasal dari Indonesia maupun negara lain yang kedalaman ilmunya tak diragukan lagi. Karena itu beliau bersikap toleran pada pendapat orang lain dan menyerukan persatuan dan kesatuan.</span><br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);">Khuluq menganalisa, keberhasilan Mbah Hasyim dalam membangun dan mendidik para santri di karenakan tujuh faktor. Pertama, metode pengajarannya sangatlah menarik dikarenakan ke dalaman ilmunya dan pengalamanya dikarenakan beliau memulai mengajar pada usia remaja. Selain itu beliau dalam metode pengajaranya mengkombinasikan dengan metode yang ditawarkan oleh para kiyai dan guru pada waktu beliau belajar di pesantren mereka.</span><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);">Kedua, Seorang guru, Mbah Hasyim memberikan perhatianya kepada para santri yang mempunyai kemampuan dan bakat khusus yang diperkirakan akan menjadi ulama besar pada saat mendatang, setelah mereka dibekali ilmu dan pengalaman mengelola pesantren. Setelah mereka pulang di daerahnya masing-masing, hadhratussaikh Hasyim Asy’ari tidak tinggal diam, tetapi beliau menikahkan alumninya dengan putri anak saudagar kaya, dengan tujuan agar mampu membiayai pesantren baru yang mereka bangun. Selain itu beliau juga mengirimkan santrinya sendiri ke pesantren baru tersebut, tradisi tersebut sudah sering dipraktekkan dalam mendirikan pesantren. Para Gus (sebutan putra kiai Jawa Timur) yang sudah jelas mereka akan meneruskan kepemimpinan pesantren ayah mereka, sehingga KH. Hasyim Asy’ari memberikan perhatian khusus dalam mengajar.</span><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);">Ketiga, hal yang sangat urgen dan berguna bagi para alumni untuk berpartisipasi dalam arena sosial dan politik Indonesia, sehingga Mbah Hasyim mengajarkan pendidikan non-agama di pesantren Tebuireng disamping pendidikan agama. Dalam kenyataannya, penguasaan ilmu sekuler dan agama tidak hanya membuka kesempatan bagi para lulusan pesantren ini untuk berpartisipasi dalam kegiatan “sekuler” tetapi juga diterima oleh masyarakat agamis, sehingga mereka mampu menjadi “ perantara budaya” dari masyarakat agamis ke masyarkat sekuler.</span><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);">Keempat, Di samping diajarkan ilmu “sekuler”, Tebuireng juga mengajarkan bidang manajemen dan organisasi. Mbah Hasyim memberikan pengajaran ini, mendorong agar para santri membentuk organisasi santri menurut daerahnya mereka. Para santri juga diperbolehkan mengikuti organisasi-organisasi berskala nasional yang mempunyai cabang di Tebuireng. Hal ini menjadi ajang latihan kepemimpinan di masa depan. Selain itu juga, pesantren Tebuireng diajarkan seni pidato, bahkan kebebasan berpikir relatif diberikan di pesantren tersebut, terbukti banyak para alumni Tebuireng berkecimpung dalam organisasi modern Muslim.</span><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);">Kelima, Pesantren Mbah Hasyim, menjadi pusat pendidikan tingkat tinggi terutama dalam bidang hadits. Kebanyakan para santri Tebuireng dari pesantren - pesantren lain. Selain itu, KH. Hasyim As’yari dipandang sebagai Kiai agung dan karismatik yang mempunyai ilmu sangat tinggi terutama dalam hadits.</span><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);">Keenam, Hadhratusyaikh Hasyim Asy’ari memberikan kesempatan bagi putra-putrinya bahkan keluarga dekat lain untuk melanjutkan ke pesantren-pesantren bahkan ada yang melanjutkan ke negeri Hijaz untuk meneruskan tongkat kepemimpinan pesantren Tebuireng. Hal ini untuk menjaga agar pesantren tetap berkembang walaupun sang pendiri sudah meninggal. Selain itu, pesantren senior yang sudah dianggap mampu untuk menjadi asistennya dalam mengurus pesantren. Hal itu tidak hanya membantu Mbah Hasyim dalam mengelola pesantren, namun melatih mereka agar mampu mendirikan dan mengelola pesantren kelak.</span><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);">Ketujuh, karena karismatik Mbah Hasyim, sehingga dukungan dan rasa hormat dari banyak kiyai dan orang kaya khususnya di Jawa, membantu baik moril maupun materil dalam perkembangan pesantren. Seperti waktu pesantren Tebuireng dibumihanguskan oleh Belanda, para kiyai menyarankan para santrinya untuk melenjutkan studinya di Tebuireng dan orang kaya berbondong-bondong membantu secara finansial untuk pembangunan kembali pesantren Tebuireng sangat penting dalam perkembangan pesantren Mbah Hasyim As’yari.</span><br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);">Sesudah dijelaskan tentang faktor keberhasilan Mbah Hasyim dalam mendidik para santri dalam buku ini, kemudian pada halaman 41-65 khuluq membagi pemikiran KH. Hasyim Asy’ari empat bagian. Pertama, KH Hasyim Asy’ari mempercayai keabsahan doktrin Ahl al-Sunnah wal-Jama’ah yaitu mengikuti jalan Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin sebagaimana yang dijalankan oleh empat madzhab Sunni. Karena faktor pertama tadi Mbah Hasyim mengikuti tradisi Sunni. Kedua, KH. Hasyim Asy’ari mengikuti teologi As’ariyah dan Ma’turidiyah yang dianggap sebagai formulasi teologi yang baik. Keempat, dalam bidang Tasawuf, Mbah Hasyim mengikuti paham sufi ortodoks, sebagaimana yang dirumuskan oleh Imam Junaidi al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali. Sufi jenis ini menekankan pada peningkatan nilai-nilai moral dan kesalehan dengan jalan melaksanakan ajaran-ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Sufisme ini bukanlah yang menjurus pada praktek panteistik dan syirik. Tetapi sesuai dengan ajaran-ajaran Sunni. Dalam penjelasan tentang pemikiran Mbah Hasyim, Khuluq berusah menjelaskan dengan gambling dan jelas dalam bukunya, agar para pembaca bisa membedakan antara ajaran Sunni yang dianut oleh jam’iyah Nahdlatul Ulama dengan Ajaran Syi’ah, Salafi, Wahabi dan lain sebagainya.</span><br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);">Selanjutnya, Khuluq dalam buku ini, menejelaskan tentang bidang sosial dan politik KH. Hasyim Asy’ari, agar anggapan kalangan modern yang mencitrakan bahwa kalangan radisionalis atau sarungan hanya mengurusi bidang agama saja dan tidak peduli dengan bidang sosial dan politik. Cap ini tidak dapat dibenarkan pada KH. Hasyim Asy’ari yang mewakil kelompok tradisional atau kaum sarungan. Kiprah sosial dan politik Mbah Hasyim baik regional maupun nasional, menunjukan kalangan tradisional yang diwakili KH. Hasyim As’yari adalah pleksibel dan dinamis. Hal ini sesuai dengan sifat Islam sendiri yang tidak membedakan antara kegiatan agama murni dengan kehidupan sosial, politik, ekonomi dan sebagainya.</span><br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);">Kita telah melihat bahwa pemikiran keagamaan KH.Hasyim Asy’ari dalam buku ini pada, sehingga pemikirannya sangat berpengaruh terhadap para murid, pengikut, dan NU. Salah satu contoh kongkrit adalah penerimaan NU atas “ajaran-ajaran beliau” sebagai qonun asasi atau dasar-dasar organisasi NU. Bukti lain pengaruh Mbah Hasyim adalah bahwa karya-karya monumental beliau diterjemahkan, diterbitkan dan dibaca oleh banyak orang, baik jam’iyah NU sendiri maupun kelompok lain. Selain dari pada itu, ada istilah kembali Kepada Ke- khittah 1926, ini bisa dianggap sebagai upaya untuk kembali Kepada Yth: bentuk NU ketika dipimpin dan diformulasikan oleh KH. Hasyim Asy’ari.</span><br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);">Khuluq dalam buku ini pada bab III halaman 69-106, memaparkan panjang lebar tentang aktivitas politik KH. Hasyim Asy’ari berkaitan dengan kondisi yang menimpa negara dan masyarakat sebelum dan sesudah kemerdekaan bangsa Indonesia. Sikap non-kooperatif beliau terhadap pemerintahan kolonial Belanda sejalan dengan yang dilakukan oleh kebanyakaan pemimpin tradisional yang menyingkir Kepada Yth: daerah pedesaan untuk menhindari keontak langsung dengan pemerintahaan Hindia Belanda yang berpusat di kota. Tindakan Mbah Hasyim ini menyebabkan adanya gap antarkaum santri dengan Belanda, terutama setelah mereka terlibat perang bersenjata dalam waktu yang cukup lama dengan kemenangan di pihak Belanda yang menguasai Nusantara. Sebaliknya, umat islam yang dulu berjaya dengan kerajaannya seperti kerajaan Demak, Mataram Islam, Banten dan Cirebon harus menerima kenayataan dijajah oleh Belanda. </span><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);">Politik KH. Hasyim Asy’ari dalam melawan penjajah menggunakan dua jalan yaitu mempertahankan budaya melalui pendidikan pesantren dan fisik. Sebagaimana para kiai lain, Hadhratussaikhi Hasyim As’ari kemudian memberikan perlawanan kultur, satu-satu perlawanan yang bisa mereka berikan. Perlawanan ini dengan jalan mendirikan pesantren-pesantren di pedesaan yang dijadikan sebagai basis latihan pemimpin masa depan dan pelestarian kultur kaum sarungan sebagai alternative terhadap pendidikan model Barat. Dalam pendidikan pesantren, para santri tidak hanya diajarkan agama dan umum, tapi juga dilatih untuk hidup mandiri. Mereka juga menerima latihan kepemimpinan dan bela diri untuk menyongsong kemerdekaan Indonesia, sikap non-kompromi mereka terhadap penjajah Belanda disebabkan perlakuan keras Belanda terhadap kaum tradisional.</span><br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);">Khuluq menulis juga pada buku ini tentang jasa-jasa KH. Hasyim Asy’ari. Salah satu jasa beliau yang patut kita banggakan adalah menyatukan organisasi-organisasi Islam ke dalam satu wadah organisasi, meskipun sebelumnya mereka ada konflik karena berbeda pandangan ideologi. Persatuan tersebut antara lain diilhami oleh pidato beliau yang menyerukan tentangpersatuan dan kesatuan umat. Persatuan umat sangat penting untuk menghadapi musuh bersama bangsa Indonesia yaitu penjajah Belanda. Pada waktu itu belanda mempunyai politik “pecah belah dan kuasai” (devide et impera), selain itu juga beliau menyatukan organisasi yang bercorak Islam dan organisasi yang bercorak sekuler, penyatuan tersebut untuk bertujuan bersama. Namun kerjasama antara organisasi corak Islam dengan sekuler tidak berlangsung lama, karena sikap kedua corak tesebut berbeda dalam menyikapi kedatangan penjajah Jepang.</span><br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);">Harapan bangsa Indonesia terhadap pendudukan Jepang, yaitu akan membersihkan sisa-sisa kolonialisme Belanda. Tapi harapan itu hanya sebuah angan-angan belaka, karena dikejutkan dengan kebijakan Jepang yang melarang semua gerakan sosial dan politik pada 15 Juli 1942. Bahkan beberapa pemimpin ditangkap. Sampai Januari polisi Jepang (Kempetai) mengambil tindakan yang sangat keras terhadap siapa saja yang dicurigai melakuakan gerakan bawah tanah. Salah satu pemimpin tersebut adalah KH. Hasyim Asy’ari yang pernah dipenjara selama empat bulan, karena dituduh menjadi dalang kerusuhan dipabrik gula. Alasan tersebut dibuat-buat oleh Jepang. Alasan sebenarnya adalah karena Mbah. Hasyim Asy’ari menolak dan mengeluarkan fatwa bahwa umat Islam dilarang melakukan saikeirei . Dipenjaranya beliau mungkin juga karena persepsi negative pemerintahan Jepang terhadap Islam pada masa kependudukannya.</span><br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);">Tetapi tekanan keras terhadap umat islam secara umum, khususnya KH. Hasyim Asy’ari sebagai tokoh kelompok tradisional tidak berlangsung lama. Jepang mengubah politiknya menuju perbaikan hubungan dengan para ulama dan memberikan mereka dan para pengikutnya pekerjaan-pekerjaan birokrasi, walaupun terbatas hanya di Kementerian Keagamaan dan latihan-latihan militer ringan. Kesempatan dipergunakan oleh KH. Hasyim Asy’ari dengan sebaik-baiknya untuk mempersiapkan diri menyongsong kemerdekaan bangsa Indonesia. Karena itu beliau menerima tawaran untuk menduduki Kementerian Agama (Syumubu) dibantu oleh putra beliau, KH. Abdul Wahid Hasyim dan para pengikutnya. Selain itu juga Mbah Hasyim sangat berperan di Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) semasa Jepang dan awal kemerdekaan mengingat beliau menduduki ketua puncak organisasi ini. Menjelang berakhirnya pendudukan Jepang, KH. Hasyim Asy’ari dan para pengikutnya lebih kritis terhadap Jepang untuk mendesaknya agar secepatnya memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Setelah kemerdekaan Indonesia, Belanda yang dibantu sekutu dingin menjajah bangsa ini kembali, disini KH. Hasyim Asy’ari sangat berperan dalam mempertahankan kemerdekaan dengan mengeluarkan fatwa Jihad, mengingat posisi dan karismatik beliau sendiri di mata umat dan ulama terutama di Jawa.</span><br /><span style="color: rgb(0, 0, 102);">Dari pemaparan Khuluq dalam menulis buku ini tentang studi biografi KH. Hasyi Asy’ari dapat memberi gambaran yang lebih jelas dan memberi pencerahan untuk generasi bangsa ini dan semoga keteladanan dan perjuangan beliau menjadi pelajaran kita. Khuluq mengutip dari Arifin,penulis buku Kepemimpinan Kiai, tentang ajakan KH. Hasyim Asy’ari kepada bangsa dan negara Indonesia untuk melaksanakan teloransi,persatuan, persamaan, keadilan dan demokrasi masih sangat relevan untuk tetap diperhatiakan sampai kini.</span></div>El_zubadyhttp://www.blogger.com/profile/10020201426802177871noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1276832008122978688.post-53692345239170992862010-10-13T07:14:00.001-07:002010-10-13T07:19:38.185-07:00Muhammadiyah dan Persis, Syarikat Islam dan Jong Islamieten Bond. NU. MasyumiOleh : Achmad Rosyidi<br /><br />I. PENDAHULUAN<br /><br />Organisasi Masyarakat (ormas) adalah salah satu kumpulan ya<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg5lQ6Z2qq9uxiV2ubSsxE0ISFPmTkEyEZL19bBuG8RFUE5V50Zeuis935IRpD_pqXcP8Oxqq9zR6vBVmBOo-boo1wUbIVxAaDtuUmjDqoT7GNqGqnbDq2le7Jk2lTcqO-Lt0BC5Gy7tdo/s1600/eastjava.jpg"><img style="float: right; margin: 0pt 0pt 10px 10px; cursor: pointer; width: 320px; height: 171px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg5lQ6Z2qq9uxiV2ubSsxE0ISFPmTkEyEZL19bBuG8RFUE5V50Zeuis935IRpD_pqXcP8Oxqq9zR6vBVmBOo-boo1wUbIVxAaDtuUmjDqoT7GNqGqnbDq2le7Jk2lTcqO-Lt0BC5Gy7tdo/s320/eastjava.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5527535017941642322" border="0" /></a>ng didirikan oleh sekelompok masyarakat tertentu yang dipimpin oleh seorang tokoh karismatik, mereka berperan sebagai pioner pembagunan masyarakat tersebut.<br /><br />Indonesia adalah bangsa yang pluralis baik agama, suku dan budaya, sehingga ormas tumbuh dan berkembang berbagai corak dan bentuk sesuai dengan keadaan stuasi dan kondisinya. Di makalah ini akan dibahas enam ormas yang menurut penulis, sangat berpengaruh dalam membangun bangsa ini baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan, yaitu Muhammadiyah, Persis, SI (Syarikat Islam), Jong Islamiten Bond, NU dan Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia).<br /><br />Ormas-ormas tersebut adakalanya concern terhadap sosial keagamaan seperti Muhammadiyah dan Persis seperti pendidikan dan kesehatan walaupun di dalamnya terkadang terlibat politik tapi tidak praktis, ada yang tarik ulur antara politik praktis dan sosial keagamaan seperti NU yang sampai akhirnya fokus terhadap sosial keagamaan yang di kenal dengan istilah khittah pada tahun 1984 yang dipelopori oleh dua tokoh, KH. Ahmad Shidiq dan KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur), dan ada ormas hanya concern terhadap politik seperti Syarikat islam, Jong Islamiten dan Masyumi.<br /><br />Ormas Islam jika ditinjau dari sejarah pra kemerdekaan Indonesia, mereka sangat berjasa untuk kemerdekaan Negeri ini sampai sekarang mereka tetap eksis dalam pembangunan bangsa ini seperti kedua Ormas besar ini, Muhammadiyah dan NU. Patut kiranya kita mempelajari sejarahnya, agar kita bisa mengambil ibrah dari perjuangan mereka yang pantang mundur demi masa depan Negeri ini lebih baik .<br /><br />Penulis yakin isi makalah yang singkat ini tidak bisa menelaskan secara detail, karena tema yang di bahas sangat banyak dan luas. Mungkin makalah ini hanya sebagai stimulus atau informasi dasar sejarah tema di atas.<a name='more'></a><br /><br />II. PEMBAHASAN<br /><br />A. Muhammadiyah<br /><br />1. Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah<br /><br />Muhammadiyah adalah salah satu organisasi terbesar ke-2 di Indonesia setelah NU (Nahdlatul Ulama), Muhammadiyah lahir pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H (bertepatan dengan 18 November 1912 M). Muhammadiyah diresmikan menjadi organisasi persyarikatan dan berkedudukan di Jogjakarta, dipimpin langsung oleh KH. A. Dahlan sendiri sebagai ketuanya. Jadi organisasi yang didirikanya merupakan penyempurnaan dari pelaksanaan gerakan yang dilakukan sebelumnya.[1]<br /><br />Sebelum membahas lebih jauh latar belakang organisiasi ini, penulis akan mengulas terlebih dahulu biografi singkat pendirinya, yakni KH. A. Dahlan. Beliau adalah sebagai tokoh pendiri dan figur utama organisasi ini. KH. A. Dahlan adalah anak dari Kiai Haji Abu Bakar bin Kiai Sulaiman seorang khatib di Masjid Agung Jogjakarta. Ahmad Dahlan lahir pada tahun 1868. Semasa kecilnya, Ahmad Dahlan bernama Muhammad Darwis. Pada masa kecilnya, beliau sudah mengenal pemikiran Jamaluddin al-Afgani dan Muhammad Abduh melalui majalah al-Urwah al-Wusqa. Beliau pernah tinggal di Mekah selama dua tahun, sehingga akrab dengan gagasan modernisasi Islam.[2]<br /><br />Setelah mengenal tokoh utama dan figur organisasi ini secara singkat, penulis akan menjelaskan faktor pendorong berdirinya Muhammadiyah, faktor-faktor tersebut ada dua, yakni faktor subyektif dan faktor obyektif.<br /><br />a) Faktor Subyektif<br /><br />Bersifat subyektif, ialah pelakunya sendiri, dan ini merupakan faktor sentral. Lahirnya muhammadiyah tidak dapat dipisahkan dengan KH. A. Dahlan, tokoh kontroversial pada zamannya. Jadi esensi yang mendorong kelahiran Muhammadiyah adalah faham dan keyakinan agama beliau yang dilengkapi dengan penghayatan dan pengalaman agamanya. Inilah yang membentuk KH. A. Dahlan sebagai subyek yang mendirikan amal jariyah Muhammadiyah.<br /><br />b) Faktor Obyektif<br /><br />Faktor Obyektif yang dimaksud ialah keadaan dan kenyataan yang berkembang saat itu. Hal ini hanya merupakan pendorong lebih lanjut dari permulaan yang telah ditetapkan hendak dilakukan subyek. Faktor obyektif tersebut oleh Kyai Dahlan dibagi menjadi dua, yaitu yang inten umat Islam sendiri dan ekstern yaitu masyarakat luar Islam. Yang dimaksud dengan faktor obyek intern umat Islam ialah kenyataan bahwa ajaran agama Islam yang maksuk ke Indonesia ternyata sebagai akibat perkembangan agama Islam pada umumnya sudah tidak murni lagi. Sedangkan faktor obyek ekstrn adalah, pertama Pemerintahan penjajah Belanda. Kedua, antek-antek Pemerintah Belanda yang terdiri angkatan muda yang sudah mendapat pendidikan dari Barat. Ketiga, yang paling penting, ialah dari gerakan Nasrani itu sendiri.[3]<br /><br />2. Gerakan dan Paham Muhammadiyah<br /><br />Apabila ditinjau dari gerakan Muhammadiyah, maka kita akan ingat dengan dengan istilah Islam kota dan Islam pedesaan, dengan kata lain Islam pembaharuan yang diwakili oleh organisasi ini, sedangkan Islam tradisional yang diwakili oleh Nahdlatul Ulama. Padahal penulis sendiri tidak setuju dengan dikotomi antara kedua ormas ini, kalau dilihat era 80-an sampai sekarang. Kembali pada gerakan Muhammadiyah, Organisasi ini ketika lahir memilih pola gerakan pejuangannya sebagai sosial keagamaan bukan sebagai sosial politik. Sebagai konsekuensinya, Muhammadiyah menitik beratkan pada tiga aspek utama. Pertama, Pemurnian ajaran Islam melalui gerakan tajdid, kedua, pengembangan pendidikan Umat Islam dan yang ketiga, bidang amal usaha sosial masyarakat.[4]<br /><br />3. Peran Serta Muhammadiyah dalam Membangun NKRI<br /><br />Muhammadiyah sebagai mana kita ketahui, tidak sedikit organisasi ini dalam membangun bangsa ini, mulai dari masalah keagamaan, sosial dan Pendidikan. Satu contoh dalam dunia pendidikan, Muhammadiyah melakukan terobosan baru dalam yang berani dengan mengambil dan mengadopsi sistem pendidikan modern Barat (Belanda), walaupun inti dan substansi pendidikannya tetap berdasarkan Islam. Sisem administrasi, seperti tata persuratan, yang kita pakai sekarang ini adalah juga diambil alih oleh sistem administrasi Belanda yang telah kita adaptasikan dengan kondisi kita.[5]Padahal pada saat itu mayoritas umat Islam di Indonesia seperti kaum Nahdhiyin masih melarang sistem pendidikan penjajah (Belanda).<br /><br />B. Persis<br /><br />1. Latar Belakang Berdirinya Persis<br /><br />Organisasi modernis muslim selain dari pada Muhammadiyah ialah Persatuan Islam disingkat Persis, lahir di kota Priangan Bandung pada 12 September 1923 tepatnya di daerah Gang Belakang Pakgade. Selanjutnya apabila kita telusuri dari kelahirannya organisasi ini, maka ada beberapa hal yang mendorong lahirnya gerakan ini: diskusi dan perdebatan dalam hal dan perdebatan dalam masalah keagamaan yang dibahas banyak kalangan di kota-kota Minangkabau, Surabaya, dan Batavia (sekarang Jakarta), dua tokoh sentral dalam diskusi-disukusi ini adalah Haji Zamzami (1894-1952) dan Haji Mahmud Yunus[6]<br /><br />2. Gerakan dan Paham Persis<br /><br />Apabila dilihat dari segi aliran atau paham Persatuan Islam tergolong beraliran modernis dan reformis, organisasi ini memiliki paham tajdid (pembaharuan), artinya Persis tidak menganut salah satu madzhab baik dari segi hukum, maupun bidang kalam (teologi).[7]Persis sendiri mempunyai pengikut terbatas di kawasan etnik Sunda di Jawa Barat. Namun demikian organisasi yang aktif menyebarkan paham keagamaannya ( tajdid) melalui penerbitan-penerbitan beredar hingga negara tetangga seperti Singapura, Semenanjung Malaysia, Philipina dan Thailand. Tetapi khusus di Negara Jiran yang bermadhab syafi’i, buku-buku terbitan Persis yang berkenaan dengan hukum, ”diharamkan” beredar oleh beberapa Mufti di negara tersebut, karena bertentangan dengan madzhab Syafi’i.[8]<br /><br />Perlu diingat, bahwa organisasi ini tidak berkembang pesat tidak seperti Muhammadiyah dan NU, karena salah satu faktornya adalah kurang memperhatian masalah organisasi, seperti pendirian cabang-cabang. Namun Persis mempunyai dua anggota yang sangat terkenal adalah Ahmad Hasan atau biasa di sebut dengan Hasan Bandung dan Moh. Natsir, keduanya pernah polemik dengan Bung Karno.[9]<br /><br />C. Sarekat Islam (SI)<br /><br />1. Kelahiran Sarekat Islam<br /><br />Sarekat Islam adalah satu di antara organisasi politik Indonesia abad ke-20 yang paling menonjol. Organisasi ini didirikan oleh H. Samanhudi (1868-1956 M.) pada 11 November 1911. Salah satu tujuan jangka panjang organisasi ini adalah Islamisasi yang semakin mantap bagi masyarakat Indonesia.[10] Pada masa permulaan abad ini ketika rasa nasionalisme modern Indonesia masih baru tumbuh, kata Islam merupakan kata pemersatu bagi orang indonesia berhadapan bukan saja dengan pihak Belanda, melainkan juga dengan orang Cina.<br /><br />Ingatlah sebab berdirinya Sarekat Islam adalah asal mula dari Sarekat Dagang Islam (SDI) yang diarahkan mulanya untuk memajukan perdagangan Bumi Putra di bawah panji-panji Islam. Ikatan terhadap islam seperti ini berarti juga bahwa pada tahun 1911-an Sarekat islam dapat menyebar ke penjuru Nusantara, dari Aceh di sebelah barat sampai Maluku sebelah timur, di samping meliputi segenap lapisan penduduk dari yang bawah sampai pada yang atas, karena lebih didorong oleh rasa seagama.[11]<br /><br />2. Gerakan Sarekat Islam (SI)<br /><br />Munculnya masyarakat madani yang agak kuat terjadi sejak awal berdirinya Sarekat Islam, karena Gerakan Sarekat Islam mempengaruhi sistem religio-politik pada waktu itu yakni pra-kemerdekaan Indonesia. Sedangkan gerakan SI dipengaruhi oleh Muhammad Abduh dari Mesir seperti pembaharuan Islam, seperti halnya Muhamadiyah dan Persis.[12]<br /><br />D. Jong Islamieten Bond<br /><br />1. Sejarah Berdirinya<br /><br />Jong Islamieten Bond (Ikatan pemuda Islam), Jong islamieted Bond sendiri didirikan secara formal pada 1 Maret 1925 oleh Syamsurizal atau yang lebih terkenal dengan Syam dan kawan-kawanya. Ia adalah seorang pemuda terpelajar yang mempunyai pemikiran maju dan pernah menduduki jabatan sebagai ketua umum Jong Java. Syamsurizal adalah seorang murid dan pengikut Haji Agus Salim (1884-1954) semula bergabung dalam Jong Java (Jawa Muda). Tapi munculnya JIB disesalkan Jong Java. Jong Java beranggapan Perhimpunan baru berarti perpecahan padahal orang sedang mengusahakan persatuan. Jong Java melihat sebagian anggotanya tersedot masuk ke JIB. JIB berargumen bahwa mereka memperjuangkan persatuan nasional, walau dengan dasar Islam tapi orientasinya Indonesia.[13] Dapat penulis simpulkan bahwa dalam organisasi-organisasi pemuda itu ternyata ideologi keagamaaan dan ideologi sekuler ternyata tidak dapat disatukan.<br /><br />2. Gerakan Jong Islamited Bond<br /><br />Sebelum melangkah lebih jauh, bahwa tujuan didirikan JIB adalah untuk mempelajari dan mendalami Islam. Waktu itu pandangan orang-orang terpelajar yang memperoleh pendidikan ala Barat (Belanda) masih minim dalam pengetahuan agama Islam, Karena anggapan umum waktu itu, apabila seseorang ingin terpandang dan modern, mereka harus mendapat pendidikan yang diselenggarakan oleh penjajah. Sehingga beranggapan mempelajari dan mendalami Islam tidak penting.<br /><br />Gerakan dan usaha-usaha yang dilakukan oleh JIB untuk mewujudkan cita-citanya, antara lain dengan jalan:<br /><br />a) Menerbitkan brosur-brosur dan majalah dengan nama Het Licht (annur) secara berkala. Majalah didirikan pada April 1925 M. yang di pimpin oleh Wiwoho Purbohadidjojo.<br /><br />b) Mengadakan kursus-kursus atau halaqah serta pembinaan kader-kader JIB.<br /><br />c) Mengadakan kunjungan-kunjungan ke tempat penting dan berarti, hal ini yang biasa dilakukan oleh organisasi pemuda pada waktu itu.<br /><br />Selain dari pada itu, JIB juga mendirikan organisasi khusus kaum wanita pada tahun 1925 dengan nama Jong Islamiten Bond Dames Afdeling (JIBDA), dengan gerakan dan tujuan untuk membela dan melindungi hak-hak wanita sesuai dengan ajaran Islam.[14]<br /><br />Yang paling menumental dari JIB adalah keterlibatannya dengan Sumpah Pemuda pada tahun 1928, artinya JIB pada tahun itu adalah satu dari sepuluh pergerakan pergerakan pemuda yang mencetuskan sumpah pemuda. Wakil JIB yang menjadi pengurus pada konggres pemuda waktu itu adalah Johan Muhammad Cai, sebagai seorang anggota senior dan sebagai mahasisiwa.[15]<br /><br />E. Nahdlatul Ulama<br /><br />1. Latar Belakang Berdirinya NU<br /><br />Nahdlatul Ulama adalah salah satu organisasi terbesar pertama di Indonesia, sebelum melangkah lebih penulis akan menjelaskan latar belakang berdirinya dahulu. Nahdlatul Ulama secara resmi berdiri pada tanggal 31 Januari 1926 M./1344 H. di Surabaya oleh sejumlah tokoh tradisional dan usahawan Jawa Timur.[16]Embrio organisasi ini pada tahun 1914, yaitu berdirinya organisasi Tashwirul Afkar, Nahdlatul Wathan, Nahdlatul Tujjar maupun Komite Hijaz yang secara kesemuannya merupakan salah satu bentuk reaksi terhadap situasi, kondisi dan perkembangan politik maupun sosial keagamaan ketika itu.[17]<br /><br />Latar belakan NU didirikan karena ada dua sebab, pertama, reaksi dari aktifitas kelompok reformis (kaum pembaharu) yang semakin meluas di dalam Negeri, dalam hal ini adalah Muhammadiyah dan Sarekat Islam. Kedua, reaksi internasional. Hal ini dibagi menjadi dua, pertama, tepatnnya pada Februari 1945 M., Pemerintahan Kemalis Republik Turki menghapus jabatan Khalifah. Kedua, kekalahan penguasa Makkah, Syarif Husain oleh Abdul Aziz bin Sa’ud yang berpaham Wahabi, sekte puritan yang paling dogmatis dalam Islam.[18]<br /><br />2. Gerakan dan Paham NU<br /><br />Apabila kita ingin melihat gerakan dan pemahaman NU berarti kita harus melihat anggaran dasar NU, yang di dalamnya disebutkan dengan sangat eksplisit bahwa tujuan-tujuan NU adalah mengembangakan ajaran-ajaran Islam Ahlussunnah wal-Jama’ah dan melindunginya dari kaum pembaharu dan modernis, yang di jelaskan pasal kunci 2 dan 3.[19]<br /><br />Gerakan NU dalam berdakwah adalah bersifat Tawassuth, al-I’tidal, al-tawazun dan al-tasamuh, selain itu juga NU sangat memperhatikan bidang kebudayaan sehingga organisasi ini mempunyai motto:<br /><br />المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديدالأصلح<br /><br />“Yang lama yang baik di pelihara dan dikembangkan. Yang baru yang lebih baik, dicari dan dimanfaatkan”.<br /><br />Artinya warga NU tidak boleh ada sikap apriori, selalu menerima yang lama dan menolah yang baru atau sebaliknya menerima yang baru dan menolak yang lama.[20]<br /><br />3. Peran Serta NU dalam Membangun NKRI<br /><br />NU adalah salah satu organisasi yang tidak sedikit ikut serta dalam pembangunan bangsa ini, mulai pra-kemerdekaan sampai pasca-kemerdekaan. Sebelum kemerdekaan, contohnya salah satu tokoh NU yaitu KH. Wahid Hasyim sebagai BPUPKI. Sedangkan pasca kemerdekaan tepatnya pada 21 dan 22 Oktober 1945 M. wajib bagi warga Nahiyyin untuk berperang mempertahankan kemerdekaan Indonesia sebagai Jihad (perang suci) atau dikenal dengan Resolusi Jihad yang dinyatakan oleh KH. Hasyim Asyari.[21]Di era modern sekarang NU melebarkan sayapnya ke seluruh Dunia dengan mendirikan ICIS (International Comperence of Islamic Schoolar) pada tahun 2004 dan PCI (Pengurus cabang Indonesia) yang didirikan oleh KH. Dr. A. Hasyim Mudzadi.<br /><br />Sejak didirikannya 1926-1952 organisasi ini fokus pada pembinaan umat menurut wawasan keagamaanya yang memang sesuai dengan wawasan keagamaan mayoritas kaum muslimin Indonesia, seperti halnya dakwah, ma’arif (pendidikan), Pengembangan ekonomi, tetapi NU pada tahun 1952 terlibat pada politik praktis sampai 1979 sehingga visi misi NU dalam pemberdayaan masyarakat kurang epektif, tapi pada 1982 sampai sekarang kembali pada visi misi semula yang biasa di kenal dengan kembali ke-Khittah 1926.[22]<br /><br />F. Masyumi<br /><br />1. Latar Belakang Berdirinya Masyumi<br /><br />Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945 telah memberikan kesempatan yang sama kepada berbagai aliran politik di Indonesia untuk dengan bebas membentuk partai-partai politik sebagai sarana demokrasi seperti yang dinyatakan pasal 28 UUD 1945. Kesempatan ini tidak disia-siakan umat Islam. Pada tanggal 7-8 November 1945, melalui sebuah kongres umat Islam di Jogyakarta dibentuklah sebuah partai politik Islam dengan nama Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).[23]Tokoh yang menumental dalam partai Masyumi adalah Moh. Natsir, Ia pernah mengatakan:” Islam is not one humadred precent democracy, neither is it one hundred percent autocracy Islam is...Islam.[24] Artinya Nasir berpandangan bahwa Islam harus mempunyai sebuah partai sebagai wadah aspirasi suara umat Islam, tapi partai tersebut harus berasaskan Islam.<br /><br />Di antara pendirinya adalah H. Agus Salim, Prof. Abdul Kahar Muzakkir, Abdul Wahid Hasyim, Muhammad Natsir, Muhammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Dr. Sukiman Wirdjosandjojo, Ki Bagus Hadikusumo, Muhammad Mawardi dan Dr. Abu Hanifah.[25]Sepanjang sejarahnya, Masyumi mempunyai delapan anggota istimewa, yaitu NU, Muhammadiyah, Persis, Persatuan Umat Islam, Al-Irsyad, Jam’iyatul Wasliyah, Al-Ittihadiyah dan Pesatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), Semua organisasi sosial keagamaan ini telah dibentuk pada masa penjajahan Belanda, dan telah aktif dalam bidang sosial, keagamaan dan pendidikan.[26]<br /><br />2. Peranan Masyumi Dalam Membangun Bangsa Indonesia<br /><br />Menurut Deliar Noer, organisasi ini dianggap sebagai satu-satunya partai politik bagi umat Islam dan di dalam catatan kaki pada bukunya, ia menjelaskan Nama Masjumi diperdebatkan hangat dalam kongres tersebut oleh karena nama tersebut mengingatkan pada organisasi masa jepang dengan nama yang sama. Nama ini akhirnya diterima dengan 52:50 suara; nama Partai Rakyat Islam ditolak, tetapi nama partai Masjumi pasca kemerdekaan itu tidak merupakan kependekan, berlainan dengan nama tersebut pada Jepang.[27]<br /><br />Ketika Sukarno menggelar demokrasi terpimpin, parlemen yang dipilih pada pemilu 1955 dibubarkan dan digantikan dengan DPR Gotong Royong (DPRGR) dan Sukarno menciptakan akronim Nasakom (nasionalisme, Agama dan Komunisme). Partai Masyumi yang paling kosisten menentang kebijakan Sukarno dan akhirnya Masyumi dibubarkan oleh Sukarno pada tahun itu juga. [28]<br /><br />Apabila ditinjau dari program pejuangan Masyumi dalam hidup bernegara, ialah mengacu pada kongres Masyumi tahun 1952 yang terbagi menjadi tujuh bagian: kenegaraan, perekonomian, keuangan, sosial pendidikan dan kebudayaan, luar negeri dan Irian Barat (Papua).[29]<br /><br />III. SIMPULAN<br /><br />Dari uraian di atas, penulis dapat simpulkan bahwa organisasi baik politik maupun non-politik di Indonesia mulai pra-kemerdekaan sampai pasca kemerdekaan mempunyai pengaruh bagi kehidupan berbangsa dan bernegara pada abad 21 ini. Organisasi Masyarakat (ormas) di Indonesia banyak bermunculan pada jaman penjajah sampai era kemerdekaan. Namun ada masih eksis sampai sekarang seperti Muhammadiyah, persis dan Nahdlatul Ulama yang terus mengembangkan dakwahnya baik bi-lisan maupun bil-hal di Negara ini. Dan ada juga yang tinggal sejarahnya seperti Masyumi, Sarekat Islam dan Jong Islamiten Bond.<br /><br />Namun dari sejarah ormas yang masih eksis sampai sekarang dan yang sudah tinggal sejarahnya, kita harus mengambil pelajaran dari sejarah yang telah diperbuat oleh pendahulu kita untuk membangun Bangsa ini.<br /><br />Daftar Rujukan<br /><br />Abdullah, Taufiq…[et al]. 2002. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.<br /><br />Ahmad, Komaruzzaman Bustan. 2002. Islam Historis, Yogyakarta: Galang Fress.<br /><br />Bruinessen, Martin van. 1999. NU Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana baru. Yogyakarta: LkiS.<br /><br />Dawisha, Adeed [ed]. 1986. Islam in Foreign Policy. Sydney: Cambrige Univeristy Press.<br /><br />Esposito, John. 1985. Islam and Politics New York: Syracuse University Press.<br /><br />Harun, Yahya. 1995. Sejarah masuknya Islam di Indonesia, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta.<br /><br />Ismail, Faisal. 2003. Ketegangan Kreatif Peradaban Islam. Jakarta: Bakti Asara Persada.<br /><br />Mahendra, Yuril Ihza. 1999. Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam. Jakarta: Paramadina.<br /><br />Noer, Deliar. 2000. Partai Islam Di Pentas Nasional: Di Pentas Nasional. Bandung: Mizan.<br /><br />Siddiq, Ahmad. 2005. Khittah Nahdiyyah. Surabaya: Khalista.<br /><br />Thaba, Abdul Aziz. 1996. Islam dan Negara. Jakarta: Gema Insani Press.<br /><br />Tim Pembina Al-Islam dan kemuhammadiyahah. Universitas Muhammadiyah Malang. 1990. MUHAMMADIYAH Sejarah, Pemikiran dan Amal Usaha. Malang:Universitas Muhammadiyah Malang Press.<br /><br />Wijdan SZ, Aden. Dkk. 2007. Pemikiran & Peradaban Islam. Yogyakarta: Safaria Insania.<br /><br />[1] Tim Pembina Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, Universitas Muhammadiyah Malang, MUHAMMADIYAH Sejarah, Pemikiran dan Amal Usaha, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Press, 1990), hlm. 3.<br /><br />[2] Taufiq Abdullah…[et al], Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), vol. 5, hlm. 365.<br /><br />[3] Tim Pembina Al-Islam dan kemuhammadiyahah,Universitas Muhammadiyah Malang, op.cit, hlm.4.<br /><br />[4] Penjelasan lebih jelas tentang itu semua lihat: Yahya Harun, Sejarah masuknya Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 1995), hlm. 38-39.<br /><br />[5]Faisal Ismail, Ketegangan Kreatif Peradaban Islam,(Jakarta: Bakti Asara Persada, 2003), hlm. 3.<br /><br />[6] H. Zamzami menghabiskan tiga tahun belajar di Dar Al-Ulum Mekkah, kemudian menjadi salah guru di Madrasah Darul Muta’alimin di Bandung sekitar tahun 1910. Ia dikenal dengan Ahmad al-Surati, pendiri Al-Irsyad dan pendukung Islam fundamental di Indonesia, Sedangkan Muhammad Yunus, walupun ia seorang pedagang, tetapi tertarik pada masalah-masalah keagamaan dan mengkoleksi sebuah perpustakaan karya-karya Islam. Komaruzzaman Bustan-Ahmad, Islam Historis, (Yogyakarta: Galang Fress, 2002), hlm. 46.<br /><br />[7]Yuril Ihza mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 183.<br /><br />[8] Ibid., hlm. 184.<br /><br />[9] Moh. Natsir adalah seorang pemuda cerdas yang menjadi juru bicara Persis di kalangan kaum terpelajar, selain dipersis ia anggota JIB dan masjumi, lihat: Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara: Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 135.<br /><br />[10] Komaruzzaman Bustan-Ahmad, op. cit. hlm. 44.<br /><br />[11] Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas Nasional: Di Pentas Nasional, (Bandung: Mizan, 2000),cet. II, hlm. 5.<br /><br />[12] John Esposito, Islam and Politics, (New York: Syracuse University Press, 1985), halaman 119.<br /><br />[13] Ibid. hlm. 9. Lihat: Yahya Harun, op.cit., (Yogyakarta: Kurnia kalam Semesta, 1995), hlm. 42-58.<br /><br />[14]Ibid., hlm. 48-49.<br /><br />[15] Adapun tokoh-tokoh JIB yang terlibat dan berperan dalam Sumpah Pemuda antara lain: Kasman Singodimedjo, Moh. Natsir, Muhammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Yusuf Wibisono, Wiwoho Purbohadidjojo, Syamsurrijal, Syahbuddin Latif, Sudewo, MT. Utsman El Muhammady, Ir. Indra Tjaja, Syamsuddin Sutan Mahmud, Rustam Sutan Palindih, Zainul Bahauddin, MA., Dasuki dan lain-lain. Dikalangan wanita antara lain: Ny Sunaryo Mangunpuspito, Ny Emma Puradiraja, Ny Datuk Tumenggung, dan Ny. SZ. Gunawan. Ibid., hlm. 54.<br /><br />[16]Jam’iyah Nahdlatul Ulama didirikan oleh para kiyai diantaranya: KH. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syamsuri, KH. Ridwan, KH. Asnawi, KH. R. Hambali, KH. Nahrawi, KH. Muntaha dan KH. Nawawi. Lihat: Martin van Bruinessen, NU Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana baru, (Yogyakarta: LkiS, 1999), cet. III, hlm. 17.<br /><br />[17] Yahya Harun, op. cit., hlm. 58.<br /><br />[18] Martin van Bruinessen, op. cit, hlm. 26.<br /><br />[19] Untuk lebih jelas naskah AD/ART NU, lihat lampiran IV halaman 307. Ibid., halaman 43.<br /><br />[20] Ahmad Siddiq, Khittah Nahdiyyah, (Surabaya: Khalista, 2005), cet. III, hlm. 66-67<br /><br />[21] Martin van Bruinessen, op. cit, hlm. 59.<br /><br />[22] Ahmad Siddiq, op.cit, halaman 4-5.<br /><br />[23] Aden Wijdan SZ. Dkk, Pemikiran & Peradaban Islam, (Yogyakarta: Safaria Insania, 2007), hlm. 159.<br /><br />[24] John Esposito, op. cit., halaman 232.<br /><br />[25] Nama-nama tersebut hasil wawancara dengan Muhammad Natsir di Jakarta,3 Juli 1982; dengan Muhammad Roem di Jakarta, 14 Juli 1982; dengan Mohamamd Mawardi di Yogyakarta, 5 Januari 1985. Pertemuan persiapan pembentukan Masyumi dilakukan di Jakarta dan Yogyakarta. Lihat :Yuril Ihza mahendra, op. cit., (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 62-3.<br /><br />[26] Ibid., hlm. 183.<br /><br />[27] Deliar Noer, op. cit, hlm. 51.<br /><br />[28] Adeed Dawisha [ed], Islam in Foreign Policy, (Sydney: Cambrige Univeristy Press,1986), hlm. 147.<br /><br />[29] Ibid., hlm. 148-5.El_zubadyhttp://www.blogger.com/profile/10020201426802177871noreply@blogger.com1