Kamis, 14 Oktober 2010

المعلق بالشرط يجب ثبوته عندثبوت الشرط كل شرط يخالف أصول الشريعة باطل

المعلق بالشرط يجب ثبوته عندثبوت الشرط
كل شرط يخالف أصول الشريعة باطل
Oleh: Rosidi
Dosen pembimbing: Ust. H. Zainu Zuhdi, Lc. M.Hi
.
I. PENDAHULUAN
Perubahan sosial sejalan dengan perkembangan teknologi dan sistem ekonomi serta kemajuan aspek-aspek kehidupan lainnya yang menuntut suatu panduan agama yang memiliki relevansi dengan perjalanan hidup manusia. Kehidupan manusia dengan perubahan yang begitu cepat dengan perkembangan seperti di atas itu tidak lepas dari problem-problem yang ditimbulkan dari gejala itu. Dengan perkembangan yang begitu signifikan membuat kebanyakan manusia sulit untuk mengimbanginya, dalam artian manusia untuk memenuhi kebutuhannnya dengan mengalalkan segala cara, karena lepas dari panduan agama. Seperti halnya dalam masalah syarat-syarat mu’amalah yang tidak sesuai dengan prinsip syari’at dan masalah sosial masyarakat yang mengharuskan adanya syarat, namun pada prakteknya syarat itu diabaikan. Contoh-contoh akan kami jelaskan pada pembahasan nanti.
Para ushuliyin (ulama ushul fikih) kemudian menggali hukum dari al-Quran dan al-Hadist, mereka memerlukan salah satu metode yaitu kaidah-kaidah untuk memformulasikannya, kaidah ini menjadi salah satu aset berharga dalam peradaban Islam khususnya dibidang yurisprudens yang berfungsi sebagai solusi dalam problem kehidupan yang makin hari makin krusial, baik individu maupun kolektif. Ini sebagai bukti betapa para cendekiawan muslim sangat peduli terhadap khasanah keilmuan.
Dalam makalah ini, penulis berupaya menejelaskan dua kaidah fikih (legal maxim) di atas sebagai landasan kehidupan sosial kita, agar tidak melenceng dari aturan-aturan yang telah diajarkan oleh Rasulullah.


II. PEMBAHASAN
2.1. Kaidah Pertama
المعلق بالشرط يجب ثبوته عندثبوت الشرط
“Sesuatu yang bergantung pada suatu syarat, wajib adanya ketika sesuai dengan adanya Syarat”
2.2. 1. Landasan Kaidah
وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُسْلِمُونَ عِنْدَقال النبي صلى الله عليه و سلم المسلمون عند شروطهم
Artinya: “ Rasulullah saw. Bersabda bahwa orang-orang Islam tergantung dengan syarat-syarat mereka” (H.R Bukhari)

Dapat diartikan dari hadits tersebut ialah jika di antara orang-orang Islam yang sedang mengadakan perjanjian dengan syarat-syarat yang tidak bertentangan dengan nash atau prinsip-prinsip syari’ah, maka dianggap cukup dan sah.
2.1.2. Makna Kaidah
Sebelum melangkah pada penjelasan kaidah ini, penulis akan menjelaskan syarat dahulu. Syarat menurut etimologi adalah tanda atau simbol, sedangkan syarat menurut terminologi ulama ushul dan fuqaha adalah apa yang bisa melegalkan sesuatu, tetapi bukan dari unsur sesuatu tersebut. Atau perkara luar bukan unsur dari ibadah yang bisa melegalkan ibadah dengan adanya perkara tersebut, namun adanya perkara tersebut tidak harus adanya ibadah. Contoh seperti shalat bisa sah salah satunya dengan berwudhu yang wudhu sendiri bukan unsur dari shalat, namun ada wudhu tidak diharuskan melaksanakan shalat.
Sedangkan syarat terbagi menjadi dua, pertama, syarat syari’ yaitu syarat yang bersumber dari Allah seperti ahli atau mampu untuk patuh terhadap aturan jual beli dan tidak ada unsur riba. Kedua, syarat ja’li yaitu syarat yang berasal dari kehendak seorang pelaku, karena orang yang akad (mengadakan perjanjian) telah membuat perjanjian yang digantungkan dengan syarat. Tetapi syarat dinyatakan batal apabila mustahil terjadi dalam sebuah perjanjian, seperti halnya jika orang yang berhutang hidup maka saya akan menaggung hutangnya, sedangkan orang yang berhutang sudah meninggal.
Arti dari kaidah di atas adalah bahwa sesuatu yang digantungkan terhadap syarat tidak legal atau sah sebelum syarat itu terwujud, dan sesuatu dinyatakan sah dan bisa terlaksana ketika syarat itu ada.
2.1.3. Contoh dan Aplikasi Kaidah2
1. Jika salah satu syarat wajib melaksanakan haji atau umrah adalah adanya kemampuan (istitha’ah), maka ketika seseorang telah mampu maka wajib baginya melaksanakan kedua ibadah tersebut.
2. Seseorang memesan barang dengan syarat akadnya batal apabila pesananya tidak selesai dalam satu waktu satu bulan. Maka sebelum habis waktu satu bulan, maka si pemesan tidak bisa menuntut pembatalan akad pesanan barang tadi.
2.2. Kaidah kedua
كل شرط يخالف اصول الشريعة فهو باطل
“Setiap syarat yang menyalahi prinsip syariah adalah batal”
2.2.1. Landasan Kaidah
a) Al-Quran

dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki[282] (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian… (Q.S. al-Nisa: 24)

b) Al-Hadits
فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( ما بال رجال يشترطون شروطا ليست في كتاب الله من اشترط شرطا ليس في كتاب الله فهو باطل شرط القام رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال ( ما بال رجال يشترطون شروطا ليست في كتاب الله من اشترط شرطا ليس في كتاب الله فهو باطل شرط الله أحق وأثق )

Artinya: “Rasulullah saw. bersabda apa saja yang dikehendaki orang-orang yang membuat syarat (perjanjian) yang tidak sesuai dengan kitab Allah (al-Quran, sedangkan barang siapa yang membuat syarat (perjanjian) yang tidak sesuai dengan kitab Allah (al-Quran), maka syarat itu batal, syarat Allah itu lebih berhak dan terpercaya dan kokoh. (H.R. Bukhari)
Dari hadits tersebut dapat dipahami dengan menyetir perkataan Ibnu Amr yaitu setiap syarat yang tidak sesuai dengan hukum Allah dan keputusan-Nya atau sunah Nabi-Nya, maka syarat tersebut batal. Sesuai dengan firman Allah SWT. dalam al-Quran surat al-Nisa ayat 24 ditafsirkan dengan hukum Allah swt. Bagi kamu sekalian dan keputusan-Nya di atas kamu sekalian.
2.2.2. Makna Kaidah
Kaidah ini menunjukan bahwa setiap syarat atau perjanjian harus sesuai dengan koridor yang ditentukan oleh kitab Allah (al-Quran) maupun sunah Nabi-Nya, karena keputusan dan ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang bisa membawa umat manusia ke dalam yang benar. Karena apabila syarat-syarat yang tidak dengan sesuai dengan sumber sumber Islam (al-Quran dan al-Hadits), maka tatanan kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik akan kacau.
2.2.3. Contoh dan Aplikasi Kaidah
a. Jika sesorang istri sudah ditalak tiga kali oleh suaminya, maka seorang wanita tersebut tidak boleh menikah dengan mantan suaminya sebelum ada muhalil (orang laki-laki yang mengawini wanita yang ditalak tiga agar suami pertama dapat mengawini lagi). Sedangkan wanita tersebut mensyaratkan kepada muhalil untuk mentalaknya setelah bersenggema, karena untuk menikah dengan suami pertamanya. Maka syarat tersebut batal karena bertentangan dengan syara’ yang merupakan nikah adalah adalah suatu ibadah yang tidak boleh dipermainkan.
b. Dalam kehidupan sosial tentu tidak lepas dengan kebutuhan ekonomi yang makin hari tidak menentu khususnya bangsa Indonesia, contohnya sesorang harus menghutang kepada si kaya untuk memenuhi kebutuhannya seperti makan dan biaya pendidikan anaknya, maka si kaya memberi hutang kepada bersyarat kepada peghutang dengan membayar lebih, maka syarat tersebut batal karena hukumnya riba dan tidak sesuai dengan tuntutan syariah.
III. Simpulan
Setelah kami uraikan kaidah dua di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap sesuatu syarat atau perjanjian harus jelas dan harus sesuai dengan tuntunan dua sumber yakni al-Quran dan al-Hadits. Kaidah pertama menejelaskan hal-hal yang yang berkaitan dengan dua seorang yang sedang mengadakan akad dengan syarat yang jelas dan kedua belah pihak harus saling setuju dengan syarat yang telah disepakati.
Kaidah kedua menjelaskan setiap syarat harus sesuai dengan tuntunan al-Quran dan al-hadits, maka apabila syarat tersebut tidak sesuai maka statusnya batal, dengan artian kaidah ini memperkuat kaidah pertama.
Daftar Rujukan
Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il abu Abdillah, 1987, Al-Jami’ Ashahih: Shahih Bukhari, Beirut: Dar Ibn Katsir, Juz 2.
Al-Istidzkar Halaman juz 2 halaman 270, Maktabah Syamileh http://www.islamway.com

Al-Zarqa, Ahmad bin Muhammad, 1996, Syarah al-Qawaid al-Fiqhiyyah. Beirut: Dar al-Qalam,
Djazuli, A. 2007, Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana.
Hakim, Abd Hamid, t.t, Mabadi Awaliyah, Jakarta: Sa’adah Putra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar